Satu
lagi rencana penting di kota Solo adalah meliput upacara kirab Satu Suro. Tim
riset berbagi lokasi yaitu Yuka berangkat ke Yogyakarta dan saya tetap di Solo.
Saya berkoordinasi dengan Djiwo yang juga sebagai abdi di kalangan keraton
Solo. Dari informasi Djiwo kirab tahun ini belum pasti diadakan karena situasi
konflik di keluarga Keraton Solo. Djiwo sendiri tidak mengetahui pasti apakan
dirinya akan dipanggil untuk bertugas di kirab tersebut.
Malam
Satu Suro, pemberitaan mengabarkan bahwa kirab jadi dilaksanakan tetapi dengan
absennya PB XIII. Djiwo datang ke kantor The Think dan kami berbincang dengan
Gede, Rio dan kawan-kawan The Think. Topik menarik adalah Djiwo yang tergabung
dalam komunitas pisau, sebuah forum yang membahas senjata tajam secara mendalam.
Djiwo tetap membawa budaya keris ke komunitas yang didominasi dengan pembahasan
teknik dan metalurgi barat dalam membuat pisau. Keris selalu dikenal sebagai
benda bertuah, keramat yang akhirnya hanya menonjolkan sisi klenik ke
masyarakat dan melupakan sisi teknik pembuatan secara detil. Sisi teknis itu
yang dicoba dijelaskan oleh Djiwo.
Dekat
tengah malam kami berjalan kaki menuju gerbang keraton Surakarta, titik yang
ideal untuk merekam prosesi kirab. Sepanjang jalan Djiwo menjadi pemandu dan
menceritakan banyak hal tentang prosesi tersebut. Tidak berapa lama kirab pun
dimulai, saya akhirnya mendapatkan gambar yang berhubungan dengan dokumenter
Javanese Black Metal. Footage yang terkumpul lumayan untuk mencicil produksi
sambil mencari dana.
Perjalanan
Surabaya-Sidoarjo-Kediri-Solo, saya menemukan hal yang menarik dari pertemuan
dengan pelaku Javanese Black Metal. Lokasi dimana mereka tinggal menjadi cirri
tersendiri untuk mencari Jawa. Di Surabaya metropolitan, Jawa yang tersisa
adalah kisah dan tuturan orang tua. Di Sidoarjo dan Kediri sebagai turunan dari
kerajaan yang besar, cara pencarian Jawa adalah menggalinya secara spiritual
dan menjelajahi situs yang banyak tersebar. Solo sebagai sebuah kerajaan, masih
mempunyai literatur yang cukup akan informasi Jawa.
Para
musisi ini adalah generasi muda yang mengunjungi, mempelajari, merawat dan
menjaga situs-situs peninggalan budaya. Mereka bukan orang yang didanai oleh
sebuah badan arkeologi bahkan bukan oleh Departemen Pendidikan Nasional bahkan Departemen
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Ini adalah sebuah kesadaran local dengan misi
global: JAVANESE METAL.

No comments:
Post a Comment