Tuesday 28 July 2015

PAMURBA YATMAKA CAKRA BHIRAWA


Tidak lama setelah Cakra Bhirawa dirilis awal 2014, Shiva Ratriarkha sang pelantun mantra membuat narasi yang menjelaskan maksud dari tiap lagu di album tersebut. Saya sendiri sangat terbantu dengan rekaman narasi ini, lagu Djiwo yang berisi pekik mistis dan riff hipnotis Fancy Burn kini makin bermakna.Maka saya memutuskan untuk merespon narasi ini dengan visual.

Seperti biasa sejak pembuatan video musik Cakra Bhirawa saya dan pihak band tidak pernah bertemu. Hanya terjadi diskusi panjang di jendela whatsapp dan seakan ada kinetis rupa yang menghubungkan ide. Pamurba Yatmaka dimulai dengan mendengar narasi sambil membongkar footage-footage dalam harddisk dan menyusunnya. Proses ini terasa seperti membentuk komposisi baru untuk sebuah album musik dibanding keadaan emosi dalam membuat film.
DJIWO: Fancy Burn & Shiva Ratriarkha.  photo by: I Gede Adhiputra

ADAM, artwork by: Usman Kalabintalu Blakk Art. photo by: I Gede Adhiputra

Pamurba Yatmaka adalah sebuah proses memaknai sebuah lagu dengan gambar-gambar yang sebagian besar tidak ada kaitannya dengan narasi. Pejelasan harfiah dimunculkan dengan karya-karya goresan jahat Usman Kalabintalu yang membuat artwork dari album ini. Narasi Usman tentang gambarnya menjadi pembuka tayang.

Diujung produksi Shiva memberikan mantra rajah kalacakra lengkap dengan gerakan yang semakin memperkuat posisi Djiwo sebagai band Nusantara Black Metal. Gerakan semacam ini juga dilakukan Shiva ketika rekaman vokal pada track Ardum yang berarti gerak/tarian. Mantra tersebut disematkan pada tiap segmen video dan secara ritual menjadi senjata penolak bala. Bagi orang yang mengerti bahasa Jawa ada beberap kalimat mantra yang terdengar menggelikan. Tetapi itulah mantra lengkap kalacakra yang ditemukan Shiva dari berbagai literatur kuno.

DJIWO monogram. design by Shiva Ratriarkha


Video ini diproduksi sebagai alternatif produk video-musik selain video klip, dokumenter biografi, video konser atau dokumentasi proses rekaman. Untuk black metal sebagai genre yang berideologi setidaknya butuh sebuah media untuk menerjemahkan misi yang kadang tidak cukup dengan menyimak lirik.

Kamerad Edmond
Cikini 73, 28 Juli 2015

links:
Djiwo @ tumblr  : http://fuckyeahdjiwo.tumblr.com/
Beli album Djiwo - Cakra Bhirawa :  https://itunes.apple.com/id/album/cakra-bhirawa/id944046151
Video musik Cakra Bhirawa :  https://www.youtube.com/watch?v=cpCvblDpNnY
Album @ Hitam Kelam Store :  http://hitamkelamstore.blogspot.com/2014/12/djiwo-cakra-bhirawa.html

Monday 27 April 2015

METAL, PANTAI DAN KOTA MANADO - Catatan pulang kampung



Mercusuar di tengah kota manado.
Medio Mei 2015 saya dan beberapa kru The Anarcho Brothers mendapatkan peluang untuk ke Manado. Bagi saya merupakan perjalanan pulang kampung sedangkan bagi Haris (editor) dan Nanda (script) adalah perjalanan membuktikan urban legend tentang wanita-wanita cantik Manado.


SCENE IN PROGRESS
Ditengah kesibukan kami mencari sempatan bersua dengan gerombolan hitam kota, scene metal Manado, North Celebes Infantry Batallions. Sebuah kehormatan kami diundang untuk ngopi-ngopi bersama. Gelora metal di Manado menarik karena saya bisa melihat proses bertumbuhnya sebuah scene dengan akar kampus dan warung kopi. Band Durhaka adalah salah satu pelopor The Second Wave musik Metal di Manado. Sebelumnya scene metal gelombang pertama sekitar tahun 80an dengan nama-nama seperti Mekathana, Red Bifi, Justisia dan D'Bosco hingga awal 90an meredup.


Scene metal Manado dengan genre black metal yang menonjol adalah fenomena di sebuah kota dengan kadar sayap kanan yang tinggi. Diantara stereotipe anak muda Manado yang trendi dan wangi ditambah dengan tingkat religius masyarakat yang tinggi, gerombolan ini menjadi simbol penyadaran sosial bahwa setiap kota punya sisi gelap. Masyarakat Manado selalu merasa nyaman dengan kotanya hingga kerap melupakan masalah-masalah diantara mereka. Saya sendiri sangat berharap kepada scene ini untuk menjadi suara kritis bagi kota dan masyarakat. Saatnya Manado mempunyai suara lantang untuk menyadarkan bahwa banyak cacat sosial yang terabaikan seiring dengan ibadah minggu.




Ngopi-ngobrol dengan kawan-kawan NCIB berlangsung di sebuah warung kopi Kitawaya di seberang bioskop tua art deco yang sekarang kosong. Pemiliknya adalah tokoh rohani yang giat melakukan diskusi gospel di tempat itu. Momen paling menarik adalah disaat kami dengan khusyuk berbincang tentang black metal, kidung pujian dinyanyikan oleh para pemuda gereja di meja sebelah. 
Indahnya perbedaan.

PANTAI MANA PANTAI
Tidak kuasa dengan rengekan Haris dan Nanda akhirnya saya mengantar mereka ke pantai sepanjang Malalayang. Bertahun tidak menjenguk kampung, semuanya sudah berubah. Sepanjang garis pantai Manado sebagian besar telah menjadi milik pribadi dan kemudian direklamasi. Para pengusaha telah membuat resort reklamasi dengan impian menciptakan mini Dubai. Sulit mencari pantai terbuka untuk publik.


Disatu sisi pemerintah kota sedang giat-giat nya mencanangkan Manado kota Cerdas 2020. Mungkin pemkot Manado butuh sekolah lagi untuk menafsirkan kata Cerdas. Kota ini butuh public space dimana masyarakat berbagai kalangan bertemu, dan mulai menyingkirkan manusia partai dan menggantinya dengan profesional yang lebih mengerti tentang tata kota, kesenian dan budaya.
Habit primordial yang telah dirusak kolonial ratusan tahun telah membuat pola pikir masyarakat kota Manado menjadi pecandu kenyamanan. Nyaris mustahil melaksanakan sebuah produksi (film, misalnya) tanpa ngaret. Maka tidak jarang untuk membangun sebuah booth pameran tenaga tukang harus diimpor dari pulau seberang.


Pesan untuk Manado, 'kenyamanan' itu berbahaya.
Pesan untuk NCIB, jadilah 'ketidaknyamanan' untuk kota kami.


I YAYAT U SANTI \m/


Sario, 28 April 2015


Kamerad Edmond

Lahir dan bertumbuh di Manado, dewasa di tanah orang.

Friday 13 March 2015

MAAF KALO SAYA BERTANYA MELULU - UNDERGROUND IN THE ABOVEGROUND



Sebagai pembuka, penulis menyatakan menolak segala tindakan dan pemikiran rasial, dan sikap menebar kebencian terhadap etnis tertentu harus dihentikan!

10 Maret 2015 publik underground dikejutkan dengan sebuah petisi yang menentang Ki Gendeng Pamungkas atas sikapnya yang rasial. Banyak masyarakat metal mendukung petisi tersebut dengan menandatangani ataupun hanya dengan komentar di sosial media.

Seperti yang “kita ketahui bersama” KGP bisa dibilang penyelenggara konser metal paling produktif di negara ini walaupun sebagian besar konser dilaksanakan hanya dalam lingkup kota Bogor.

Seperti yang “kita ketahui bersama” KGP mampu menghadirkan band-band kelas atas Indonesia dalam konsernya dengan mahar tontonan yang murah.

Seperti yang “kita ketahui bersama” dalam konser itulah atribut dan aura rasial-politik bertebaran baik di spanduk, orasi maupun tulisan bold di kaos kru panggung dan sekuriti. Sebuah pemandangan yang tidak nyaman ketika saya meliput di acara tersebut.

Kehebohan akhirnya berawal ketika seorang sahabat dari komunitas buku dan filsafat akhirnya mengetahui kondisi dunia underground di Bogor yang sebenarnya telah lama “kita ketahui bersama” tadi. Mungkin kawan itu shock dan akhirnya membawanya ke aboveground, jadilah petisi yang direspon oleh kawan-kawan underground/metal. Banyak yang mendukung petisi tapi ada pula yang mengambil sikap yang lain.

Bebarapa band garda depan kemudian mengambil sikap mundur dari konser yang diselenggarakan KGP yang juga menghadirkan yang mulia Gorgoroth dan Disavowed itu. Sebuah pernyataan yang sangat tepat melihat dari penggemar mereka yang besar. Setidaknya sikap band-band ini akan memberikan edukasi yang luas untuk menentang sikap rasialis.

Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa baru sekarang ini band-band mengambil sikap demikian, ketika ada petisi dan penolakan masal terhadap KGP. Padahal seperti “kita ketahui bersama” beberapa band tersebut sempat tampil di beberapa gig KGP.

Saya teringat komentar dari seorang kawan dari aboveground: “Selama masih dibawah tanah, tenang aja masih aman…” Di dalam underground/metal memang terdapat banyak hal-hal unik yang jika dibawa ke aboveground akan menjadi sesuatu yang menghebohkan yang juga berimbas ke scene underground itu sendiri. Underground punya habit sendiri untuk menghalalkan banyak hal sebelum berbalik menentang ketika itu dibawa kepermukaan. Sebagai contoh, berapa banyak artwork yang menampilkan salib terbalik? Bukankah itu adalah sebuah bentuk penistaan sebuah agama? Sah-sah aja, selama itu ada di bawah tanah.

Sebuah jaringan metal multimedia yang cukup terkenal pernah memberikan jawaban untuk pertanyaan saya: “Penikmat pintar hanya mengambil sarinya, bukan intinya…” terdengar agak janggal ketika melihat musisi yang bersusah payah menciptakan sebuah karya metal dengan konsep yang matang berharap pendengarnya bisa mengerti baik sari maupun inti dari lagu mereka. Mungkin tidak perlu dimengerti, selama berada di underground sah-sah saja.

Setahun lalu seorang lapak-ers di Wonosobo ditangkap polisi karena menjual kaos metal dengan tulisan ‘Tem**k Sejuta Umat”. Tulisan yang sangat biasa ditemukan di kerumunan metalhead apalagi di scene porngrind. Seperti biasa ketika berita ini muncul di media aboveground kemudian ramai-ramai mencaci. Padahal sekali lagi itu adalah hal yang telah lama “kita ketahui bersama”.

Okesip, kembali lagi ke………..Bogor.

Setelah gelombang kritik dan penolakan terhadap KGP berikut gigsnya, KGP tetap ngeyel menyatakan kalau acaranya tetap berjalan. Sekarang kita bicara tentang metalhead yang mengharapkan Gorgoroth maupun Disavowed, konser yang bisa ditukar dengan receh 25.000 atau ‘free sale’ 15.000 (saat membuat ketikan ini di web resmi Gorgoroth masih terdaftar jadwal konser di Bogor). Apakah metalhead yang hadir akan disebut pendukung rasisme? Ataukah mereka adalah metalhead pinggiran metropolitan yang akhirnya mempunyai kesempatan mungkin sekali seumur hidupnya menyaksikan yang maha besar Gorgoroth dengan tarif dibawah 6 digit.

Untuk melawan kampanye rasial KGP dalam scene underground memang tidak cukup dengan petisi. Kita bisa melihat KGP dan kelompoknya menghidupkan scene underground lengkap dengan simbol 666 dan emblem bintang Daud, bahkan di daerah kekuasaan politik sayap kanan.

Sepertinya perlu adanya sebuah event tandingan dengan frekwensi gigs, band line-up, venue dan harga yang bersaing. Scene Bogor membutuhkan orang-orang yang berkampanye menolak rasisme dalam dunia musik, yang mampu memberikan tontonan berkualitas dan bersih dari segala kepentingan.



Metal connects with people, regardless of their cultural, political or religious backgrounds. And these people aren't just absorbing metal from the west; they're transforming it, creating a new outlet they can't find in their traditional cultures, a voice to express their discontent with the chaos and uncertainty that surrounds them in their rapidly changing societies. And for metalheads all across the globe, metal is more than music, more than an identity. Metal is freedom, and together, we are now a GLOBAL TRIBE.    
  

–Sam Dunn, Global Metal (2008)