Tuesday 1 July 2014

Jokowi In The Mosh Pit

Pemilihan presiden 2014 telah menjadi virus yang menyebalkan untuk orang-orang seperti saya. Perang kampanye hitam di sosial media menjadi teror ketika kita membuka halaman facebook maupun twitter. Padahal saya dan kawan-kawan sempat ditawari menjadi agensi bayangan salah satu calon presiden yang akhirnya memilih berkoalisi dengan kubu yang lebih bonafid. Ga jadi deh liburan ke eropa...okesip.

Di ujung hiruk-pikuk kampanye dua calon presiden yang hebat-hebat ini, saya merasa perlu berbagi pengalaman pribadi saya dengan salah satu calon presiden. Yap...Pak Joko Widodo.

ROCK IN SOLO V 2011
Kembali ke bulan September 2011 di kota Solo. Saya kebetulan dalam proses pembuatan film dokumenter tentang konser musik terbesar di Jawa Tengah, Rock In Solo (RIS) dipuncak kesibukan panitianya, The Think Organizer. Ketua panitia Stephanus Adjie (vokalis Down For Life) berencana ingin bertemu Pemerintah Daerah untuk meminta keringanan pajak tontonan karena RIS telah dianggap sebagai tontonan masyarakat dan memberikan pemasukan untuk Kota Solo.


9 September 2011. Berangkatlah saya, Adjie dan Jalu Baskoro ke Balai Kota Surakarta. Selagi menunggu antrian, kami bertemu dengan Pak Rudy, wakil walikota yang juga penggemar musik rock sekedar untuk berbincang. Dari situ kami menuju ruang tunggu Walikota, tampak ada sekitar 10 orang berpakaian seragam Partai Demokrat sedang menunggu. Kami yang datang dengan tampilan rapih seadanya hanya menunggu di loby.

Sekitar 15 menit kemudian Jokowi keluar ruangan dengan ajudannya dan menyapa tamu-tamu dari partai tersebut. "Wah, maaf ya saya istirahat makan siang dulu..." kira-kira begitu kata Jokowi. Melihat Jokowi keluar kami pun memunculkan diri dari loby menuju ruang tunggu. "Lho...ini anak-anak metal ngapain di sini?" tanya Jokowi. Adjie langsung mengutarakan maksud kami terkait konser RIS. Tanpa diduga Jokowi langsung mengajak kami masuk ke ruangan Walikota "Ayo, 15 menit ya". Dan para tamu partai itu melihat kami dengan wajah kesal. Perbincangan tentang konser RIS berjalan baik dan Jokowi berjanji untuk hadir. Dan RIS pun mendapatkan potongan pajak tontonan.


17 September 2011. Malam itu Burgerkill tengah menghantam panggung RIS dengan beringas. Pada lagu ke-4 dari balik panggung mobil dinas Walikota bersandar. Jokowi turun dan menuju area depan panggung, bersalaman dengan metalhead dari balik barikade. Jokowi menggunakan jaket merah dengan kaos Lamb Of God. Dari wawancara Jokowi berharap bisa mendatangkan Metallica! Harapan itu memang terdengar bagai celetukan mimpi saja dan menjadi nyata 25 Agustus 2013 di GBK ketika Jokowi menjadi gubernur DKI.

Saat memutuskan untuk terus menonton band-band utama seperti Burgerkill, Oathen, Kataklysm dan Death Angel, petugas Polisi Pamong Praja menawarkan kursi untuk Jokowi. Jokowi menolak "Nonton metal kok duduk..." dan beliau terus berdiri dan sesekali terlihat hentakan kepala mengiringi hingga Death Angel tampil.


ROCK IN SOLO VII 2013
2 November 2013. Sekali lagi saya bertugas menjadi tukang rekam RIS. Sekitar 3000 metalhead memenuhi depan panggung. "Wall of Death"* yang brutal terjadi ketika band tuan rumah Down For Life menghentak panggung. Tiba-tiba dari menara FOH terlihat kegaduhan di tengah ribuan metalhead itu. Sayup-sayup terdengar Jokowi...Jokowi...Jokowi...

Saya langsung turun dan berlari menuju belakang panggung dengan harapan Jokowi akan di ajak ke sana dan saya bisa mendapatkan gambar bagus. Setiba di pintu pagar pembatas area panggung saya bertemu Pak George, seorang veteran di dunia konser yang telah berpengalaman diantaranya menyelenggarakan konser-konser Log Zelebhour. Pak George yang bertindak sebagai kepala sekuriti terkejut ketika mengetahui Jokowi ada ditengah-tengah 3000 metalhead. Khawatir Gubernur DKI yang kerempeng itu akan tergencet metalhead, Pak George yang dikenal galak itu malah menyuruh saya untuk menyelamatkan Jokowi ke FOH. Lah...saya kan mau soting...

Akhirnya saya berhasil menerobos kerumunan metalhead yang berebut bersalaman dengan Jokowi. Sementara dari atas panggung Stephanus Adjie berteriak ke penonton "Woi...artisnya di sini nih...!" Jokowi akhirnya berhasil masuk ke dalam FOH dan terus menonton dari sana.

Ceritanya...sebelum masuk ke area konser, Jokowi menyuruh ajudannya yang berkaos metal untuk membeli tiket dan baru kemudia mereka masuk ke dalam. Panitia yang bertugas dipintu masuk tidak mengira bakal merobek tiket dari tangan seorang Jokowi. 

Setelah penampilan band technical death metal asal Italia, Hour Of Penance, Jokowi memutuskan untuk pulang karena besoknya harus kembali lagi berdinas di Jakarta. Saya berkesempatan bertemu beliau dan memberikan oleh-oleh dokumenter DVD ROCK IN SOLO. Saya meminta beliau untuk kiranya bisa menonton di sela-sela blusukan di ibu kota.

Kampanye PilPres 2014 adalah mosh pit yang brutal untuk Jokowi, melebihi benturan 'wall of death' Down For Life. Habit mosh pit itu telah membuat Jokowi siap menghadapi sikutan kampanye hitam dengan cara metalhead: tetap tegar walau keseleo, benjol kadang berdarah-darah. 



*wall of death adalah atraksi penonton metal yang membelah menjadi dua kubu dan kemudian saling bertabrakan di tengah. Kira-kira mirip adegan perang di film Braveheart ketika Mel Gibson berteriak "FREEDOOOOOMMMM...."

\m/

Tuesday 24 June 2014

Di mana anda pada 21 Mei 1998?

Ketika ngopi di kawasan Taman Ismail Marzuki sayup-sayup terdengar sebuah suara lantang yang dengan yakin dan sombong mengaku bahwa dialah orang pertama yang berhasil meloloskan mahasiswa ke dalam gedung DPR sewaktu demo reformasi Mei 1998. Hebat sekali.

Di sosial media tidak sedikit orang-orang yang menceritakan kronologi demonstrasi besar yang berhasil meruntuhkan Orde Baru yang busuk dan melahirkan rezim baru bernama Reformasi. Di musim pemilihan presiden 2014 ini nostalgia demonstrasi ditengah kerusuhan semarak muncul kembali, sudah dipastikan karena tokoh trendi di masa itu muncul menjadi salah satu kandidat presiden. Intinya semua orang yang di masa itu masih menjadi mahasiswa merasa menjadi pahlawan. Tersirat minta diakui. Hebat sekali.

Mei 1998 saya sendiri berhasil diakui sebagai alumni ditengah krisis moneter dan memanasnya politik. Saya pun bergabung dengan dengan sekitar dua lusin alumni Instirut Kesenian Jakarta yang merencanakan sebuah….konser musik. WTF… diantara krisis kita malah hura-hura. Sebagai alumni paling muda tugas saya adalah mengurus humas/publikasi bersama Saut Irianto.


Adalah prakarsa Djodi Sumantri (Super Bedjo) bersama Rusdi Harsono, Ignas Dwiadi, Joko Nugroho, Fahmi Alatas. Panitia telah terbentuk dan mulai menggagas konser musik berbayar tersebut. Lokasi ditetapkan di Plaza Teater Luwes IKJ pada tanggal 21 Mei 1998. Beberapa band terkemuka di scene IKJ masuk dalam daftar diantaranya Naif, Dik Doang, Plastik dan Rumah Sakit. Kami pun mengajak band besar seperti Slank dan No Limits. Rencana telah matang dan mulailah mencari dana dan sponsor.
Keadaan kemudian berbalik. 13 Mei 1998 kerusuhan menghantam Jakarta. Untuk sebagian masyarakat IKJ peristiwa ini mengingatkan pada kerusuhan 27 Juli 1996 dimana kawasan TIM kebagian diserbu sejumlah tentara tanpa identitas dengan tatapan mata kosong. Saat itu sejumlah mahasiswa dan alumni yang tidak sempat melarikan diri menjadi korban pukulan rotan berduri.

Beberapa panitia termasuk Djody memutuskan untuk membubarkan rencana konser. Pihak Slank sebagai band utama juga membatalkan kehadiran mereka. Walah…
Beberapa panitia yang tersisa memutuskan untuk terus menjadikan event. Ignas, Joko, Fahmi, Saut, Rusdi dan saya tetap berupaya menjadikan acara ini. Tujuan konser hura-hura kemudian menjadi sebuah konser untuk respon terhadap situasi Indonesia. Kami dibantu juga oleh beberapa kawan yang merasa dengan mengadakan event ini mereka bisa ikut dalam proses sosial-politik yang sedang genting. Sianne, Sabu Donald, Aline Jusria dan Budi Wicaksono bergabung.

Aline Jusria dan kawan-kawan yang masih menjadi mahasiswa, disela-sela kegiatan demo mereka membantu mencari dana berkeliling kampus dengan membawa gallon air mineral.
Kabar baik diterima dari manajemen No Limits yang saat itu akan merilis album mereka. No Limits akan tetap main di acara kami tanpa dibayar dan bahkan mereka menyumbang uang sebesar Rp. 500.000 untuk panitia.

Aktor Epy Koesnandar pantomime di seputar TIM 
Pagi 21 Mei, dalam perjalanan menuju kampus saya terhenti dan menumpang menonton televisi disebuah rumah di kawasan Cempaka Putih, masyarakat sekitar mendengarkan dengan tegang dan kemudian bersorak ketika Suharto dalam pidatonya memutuskan untuk berhenti sebagai presiden. Bengong….

Sesampainya di kampus IKJ telah tampak Jockie Surjoprajogo dan Oppie Andaresta ngobrol memandang panggung. Foto legendaris seorang mahasiswi yang pingsan dijalanan menjadi backdrop acara kami. Bagaimana menarik penonton untuk datang ke acara sederhana kami sedangkan seluruh Indonesia sedang merayakan jatuhnya Suharto?


Dik Doang
Akhirnya lewat kawan-kawan yang berada di gedung DPR kami mengajak para mahasiswa untuk sejenak melupakan ketegangan dan merayakan kemenangan mereka dengan menonton musik.

Acara dimulai jam 13:00 oleh happening art Musikrodit dari Fahmi Alatas. Epy Koesnandar tanpa kenal lelah melakukan performance art pantomime di kawasan TIM dan kampus IKJ untuk menarik penonton. Oppie dan Jockie pun dengan senang hati ikutan jamming. Acara berjalan kocak dengan dipandu oleh Jimi Multhazam dan Ricky Malau duo MC langganan event-event IKJ.

Sebuah kejutan paling hebat adalah tiba-tiba rombongan Slank datang dan bersedia untuk manggung tanpa dibayar. Slank rupanya ingin menjadi bagian dari peristiwa bersejarah ini dan berbagi rasa lewat musik.


Plastik on stage
Naif, Rumahsakit, Dik Doang, Plastik dan beberapa band IKJ mengajak penonton yang sebagian besar adalah mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi merayakan kelahiran suatu era: REFORMASI. 

Ipangk yang tampil bersama Plastik berkesampatan juga untuk jamming bersama Jockie dan Oppie rekan lamanya di Potlot.

Fahmi Alatas - Oppie - Ipank
Ada insiden kecil antara Jimi dan Bimbim yang agak tersinggung dengan bacot Jimi, sudah menjadi tradisi musik IKJ bahwa siapa pun band yang tampil pasti tidak akan luput dari cercaan MC.
Slank membawakan enam lagu dan membuat seluruh panitia menjadi sekuriti dadakan karena massa Slanker dari Kali Pasir dan sekitarnya datang dan memaksa ikut naik panggung ditengah situasi kampus yang telah penuh dengan penonton mahasiswa.

Tidak kalah dari mantan bandnya, Welly vokalis No Limits menutup acara konser Ekspresi Pita Hitam dengan indah. Sekitar 7-8 lagu dibawakan dengan atraktif oleh No Limits yang sebagian diambil dari album baru mereka.


Acara Ekspresi Pita Hitam adalah sebuah konser musik yang sangat berarti bagi saya dan kawan-kawan pelaksana. Saya tidak bisa mengaku-aku berdemo menghadapi polisi dan tentara, atau ikut mendobrak pagar gedung DPR. Biarlah itu menjadi bagian pengalaman kawan-kawan mahasiswa yang berdarah-darah berjuang demi keruntuhan Orde Baru. Saya hanya bisa menjawab bahwa saya dan kawan-kawan adalah penyelenggara konser musik pertama di era Reformasi ini.

Salut dan maaf untuk kawan-kawan panitia lainnya yang nama-namanya tidak tercantum di tulisan ini. Silakan absen di bagian komentar :)


foto: koleksi Ignas Dwiadi

kra\m/at, Juni 2014

Friday 14 February 2014

DARK ENLIGHTMENT: DJIWO - Cakra Bhirawa

Kartel Store: http://bit.ly/1gCU0Uv
Sejak Djiwo Ratriarkha memutuskan untuk mengerjakan proyek musik diluar Makam, saya selalu bertanya-tanya akan seperti apakah bunyi musiknya. Hingga muncul sebuah kompilasi gelap dari sectie Surakarta berjudul Kompilasi Badjoe Barat yang berisi lagu-lagu dari Santet, Brhobosan, Obar Setan, Morry, Kalabintalu dan tentunya Djiwo.

Track 1 Djiwo - Cakra Bhirawa, sulit mendeskripsikan bentuk musiknya seperti apa atau mencari-cari unsur apa yang ada didalam komposisi ini. Akhirnya saya memutuskan untuk bertanya langsung ke Djiwo dan berikut ini adalah copas jawaban dari yang bersangkutan. Silakan...


_________________________________________________

Djiwo - Cakra Bhirawa 6:51
Niat awal kami sebenarnya dipicu oleh keinginan untuk menulis sebuah komposisi lagu yang mampu atau minimal cukup diyakini efektif sebagai sarana untuk ”beribadah” .
Dan materi ayat yang kami pilih adalah Mantra Rajah Kalacakra... Materi lirik pada lagu ini sebenarnya bukan kita yang menuliskannya, tetapi di sini kita hanya mencoba menyematkannya dari duplikat naskah aslinya dan membuatnya abadi di dalam lagu.
Cakra dalam epos pewayangan jawa dapat dikenali sebagai senjata pamungkas yang sakti, Cakra yang digambarkan menyerupai roda juga dikenal sebagai roda dharma atau kebijaksanaan di beberapa keyakinan masyarakat adat. Sementara arti kata Bhirawa, lebih kami maknai sebagai teknis pelafalan dari pengucapan Bhairawa, yang berarti dahsyat atau hebat.
Keyakinan dalam kultur adat kami mantra ini dipercayai sebagai penolak sial, oleh para generasi setelah invasi budaya arab masuk dan pada masa keruntuhan majapahit. 
Di Tibet juga mengenal kata Kalacakra isi dari mantranya memakai 10-seed syllable yang disebut sbg 10 Bijjakshara, sementara mantra kalacakra di jawa, mempunyai silabel berjumlah 32, yakni ...

YAMARAJA……….JARAMAYA siapa yang menyerang, berbalik menjadi berbelas kasihan YAMARANI………..NIRAMAYA siapa datang bermaksud buruk, akan tersingkir YASILAPA…………PALASIYA siapa membuat lapar dia-lah nantinya yang akan memberi makan YAMIRODA……….DAROMIYA siapa memaksa dia-lah yang akan menjadi memberi kebebasan YAMIDOSA……….SADOMIYA siapa membuat dosa, berbalik membuat jasa YADAYUDA………..DAYUDAYA siapa memerangi berbalik menjadi damai YASIYACA……….CAYASIYA siapa membuat celaka berbalik menjadi membuat sehat dan sejahtera YASIHAMA……….MAHASIYA siapa membuat rusak berbalik menjadi membangun dan sayang.

Namun meskipun demikian, semua uraian dan makna aslinya yg bermuatan positif di atas tentunya tidak bermakna sama sekali jika disematlkan begitu saja dalam konteks gubahan sebuah lagu pembebasan berhaluan black metal dan oleh kesadaran tersebut serta merunut kepada pemaknaan ulang yang juga biasa kami lakukan, maka kami sengaja mengubah susunan bait dan ayat di dalamnya. Dan tentu saja ini mengubah arti, makna, tujuan dan dampak kinetis yang berbeda pula secara spiritual. 
Dan inilah Cakra Bhirawa kami, sebuah kisaran hisap energi kehidupan yang terus berputar, meretas ruang dan waktu ... Sadarkah Anda saat ini bahwa kehidupan yang sedang Anda jalani ini berada di dalam pengaruhnya?
Djiwo Ratriarkha @2013
______________________________________________

Sebelum mendapatkan info dari Djiwo, Saya dan Haris ngotot untuk mengutak-atik footage tidak terpakai kami, dan mulai menyusun montase video dengan latar musik Cakra Bhirawa. Kami kemudian meminta Djiwo dan Eep La Guera (gitar) untuk membuat beberapa adegan dan mengirimkan pada kami. Jadilah video musik Cakra Bhirawa. Video ini juga dibantu oleh Usman personil Kalabintalu.


Djiwo berencana untuk merilis album mereka di 2014. Kami tunggu.