Friday 15 November 2013

BLACK ODYSSEY part 7: The Ritual

Satu lagi rencana penting di kota Solo adalah meliput upacara kirab Satu Suro. Tim riset berbagi lokasi yaitu Yuka berangkat ke Yogyakarta dan saya tetap di Solo. Saya berkoordinasi dengan Djiwo yang juga sebagai abdi di kalangan keraton Solo. Dari informasi Djiwo kirab tahun ini belum pasti diadakan karena situasi konflik di keluarga Keraton Solo. Djiwo sendiri tidak mengetahui pasti apakan dirinya akan dipanggil untuk bertugas di kirab tersebut.


Malam Satu Suro, pemberitaan mengabarkan bahwa kirab jadi dilaksanakan tetapi dengan absennya PB XIII. Djiwo datang ke kantor The Think dan kami berbincang dengan Gede, Rio dan kawan-kawan The Think. Topik menarik adalah Djiwo yang tergabung dalam komunitas pisau, sebuah forum yang membahas senjata tajam secara mendalam. Djiwo tetap membawa budaya keris ke komunitas yang didominasi dengan pembahasan teknik dan metalurgi barat dalam membuat pisau. Keris selalu dikenal sebagai benda bertuah, keramat yang akhirnya hanya menonjolkan sisi klenik ke masyarakat dan melupakan sisi teknik pembuatan secara detil. Sisi teknis itu yang dicoba dijelaskan oleh Djiwo.

Dekat tengah malam kami berjalan kaki menuju gerbang keraton Surakarta, titik yang ideal untuk merekam prosesi kirab. Sepanjang jalan Djiwo menjadi pemandu dan menceritakan banyak hal tentang prosesi tersebut. Tidak berapa lama kirab pun dimulai, saya akhirnya mendapatkan gambar yang berhubungan dengan dokumenter Javanese Black Metal. Footage yang terkumpul lumayan untuk mencicil produksi sambil mencari dana.

Perjalanan Surabaya-Sidoarjo-Kediri-Solo, saya menemukan hal yang menarik dari pertemuan dengan pelaku Javanese Black Metal. Lokasi dimana mereka tinggal menjadi cirri tersendiri untuk mencari Jawa. Di Surabaya metropolitan, Jawa yang tersisa adalah kisah dan tuturan orang tua. Di Sidoarjo dan Kediri sebagai turunan dari kerajaan yang besar, cara pencarian Jawa adalah menggalinya secara spiritual dan menjelajahi situs yang banyak tersebar. Solo sebagai sebuah kerajaan, masih mempunyai literatur yang cukup akan informasi Jawa.


Para musisi ini adalah generasi muda yang mengunjungi, mempelajari, merawat dan menjaga situs-situs peninggalan budaya. Mereka bukan orang yang didanai oleh sebuah badan arkeologi bahkan bukan oleh Departemen Pendidikan Nasional bahkan Departemen Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Ini adalah sebuah kesadaran local dengan misi global: JAVANESE METAL.


BLACK ODYSSEY Part 6: Rock In Solo 2013 Hari-2

Pagi hari di lapangan Kota Barat saya berkeliling di luar venue, merekam suasana para metalhead dari luar kota Solo yang telah bersiap. Sebelumnya Haris editor The Anarcho Brothers yang berhalangan hadir minta dibelikan topi atau kaos black metal local. Di sekitar lapangan lapak-lapak kaos dan aksesoris metal banyak bertebaran. Saya akhirnya membeli kaos Sengkologeni dan Innalillahi. Entah itu kaos original atau bajakan.

Di dalam venue saya bertemu dengan Pak Bambang, metalhead setia Rock In Solo sejak konser Dying Fetus pada 2010. Pak Bambang sehari-harinya adalah juru parkir di sekitar Solo Baru dan menjadi salah satu tokoh dalam proyek dokumenter RIS 2013 oleh Bani Nasution.

Hari ke-dua berjalan seperti biasa, merekam dan merekam. Saya berkesempatan mengambil gambar di backstage ketika Djiwo bersiap sebagai penampil pertama. Sibuk dengan pernak-pernik dan perlengkapan sebuah band Javanese Black Metal, Djiwo tampak serius jarang menyapa orang-orang sekitarnya. Gede juga banyak mengambil foto-foto proses persiapan Djiwo. Memang itulah Djiwo, backstage adalah semacam tempat transformasi dari seorang yang sehari-harinya sangat akademik dan lucu menjadi sosok monster di atas panggung.

Djiwo membuka hari ke-dua RIS 2013 dengan tiga lagu, diantaranya Cakra Birawa. Sebuah lagu dari lirik mantra tantra kalacakra versi Jawa yang mempunyai arti sangat dalam. Saya dan Yuka berniat membuat sebuah peluncuran online dengan tulisan dan klip dari lagu ini. Walau penampilan Djiwo hanya disaksikan dari dekat oleh segelintir metalhead, tapi aura black metal sangat kuat di atas panggung. Hari ke-dua dibuka oleh band Javanese Black Metal sebagai tuan rumah untuk menyambut Polish Black Metal, Behemoth.

Rock In Solo memang menyediakan tempat untuk band-band dari berbagai genre rock, terlihat dari penampilan The Working Class Symphony yang membawakan folk, punk dan sedikit country rock. Ada juga The Corals, band Bekasi yang beraroma stoner, rock n’roll, dan Navicula dari Bali yang mantap dengan grunge.

Hari ke-dua ini saya lebih banyak berkeliling dan bertemu kawan-kawan baru di lingkaran musik ini. Saya bertemu lagi dengan Doni bersama kontingen Kediri dan kawan-kawan Real Militia Surabay. Sambil menyempatkan diri menyantap nasi kotak dari booth milik band black metal Solo, Bandoso. Nasi Paradox, demikian nama booth yang diambil dari album mereka Semesta Paradoks. Tampak Nonot sang bassist menjadi penjaga booth dan kasir, sementara frontman Pintus sibuk menggoreng tahu tempe.

Deadly Weapon, Ilemauzar (Singapura) dan Inlander, menghentak walaupun ditengah hujan. Hari ke-dua terlihat jumlah penonton jauh lebih banyak, kontingen luar kota yang ingin menonton Behemoth banyak yang baru berdatangan. Psychonaut (Australia) menutup siang dengan cadasnya thrash metal.

Shift malam makin beringas dengan ((Auman)) yang berlirik kritis, disusul Outright dan Navicula. Noxa berhasil membuat metalhead menjadi bagian dari tontonan yang menarik. Sayangnya ditengah konser Noxa, manajemen dari Behemoth meminta untuk memajukan waktu perform mereka. Noxa akhirnya hanya memainkan lima lagu namun  cukup menguras energi metalhead malam itu. Tarik napas dulu untuk Behemoth…

Negosiasi kawan-kawan The Think Organizer dengan Behemoth berbuah akses bagi saya dan Anggula Brintik untuk mengambil gambar di dalam barikade dan dari atas panggung. Gede sebagai fotografer panggung senior juga mendapatkan akses yang sama. Behemoth juga meminta hasil rekaman dari kami untuk menjadi dokumentasi mereka. Sama halnya ketika saya merekam Death Angel 2011, ketika mereka tengah mengerjakan thrashumentary karya Tommy Jones, sebagian footage kami menjadi bagian dari dokumenter tersebut.

Selagi menunggu Behemoth keluar dari balik panggung, saya memperhatikah beberapa buah hio dengan aroma cendana dipasang pada speaker monitor, sementara backdrop bergambar demit Baphomet tampak arogan menatap penonton. Nergal muncul dengan jubah berkalung belasan ceker ayam, entah kenapa pikiran saya langsung nyambung ke gudeg Margoyudan. Dari balik lcd kamera saya hanya bisa berkomentar bahwa Behemoth sungguh menyajikan sebuah pertunjukan black metal yang total. Detil wajah keempat orang Polandia ini selalu serius dan mengerikan sejak awal hingga akhir. Tidak ada basa-basi di jedah lagu. Yeah, itulah Behemoth, band black metal terbesar saat ini.

Saat seluruh acara selesai, saya merasa terhormat menjadi bagian dari konser ini. Saya menjadi bagian dari segala kesulitan dan kerja keras yang dialami kawan-kawan Solo dalam menyelenggarakan Rock In Solo. Masalah apakah konser ini untung atau rugi tidak lagi penting. Yang jelas harus ada orang-orang yang menyelamatkan dan menjaga scene ini, seperti kawan-kawan dai Solo ini. Semoga tahun depan masih ada tempat untuk saya membantu mereka. Hanya Baphomet yang tahu…

Sampai jumpa di Rock In Solo 2014 \m/

Link Highlight Rock In Solo 2013:


BLACK ODYSSEY Part 5: Rock In Solo 2013 Hari-1

Ini adalah tahun ke tiga saya membantu Rock In Solo. Pada 2011 dan 2012 saya dan The Anarcho Brothers merekam event ini dan menghasilkan DVD Rockumentary (2011) dan Concert Report (2012). Kali ini yang bertindak sebagai perekam RIS 2013 adalah Bani Nasution, film maker dari LiarLiar Films di Solo. Bani berniat membuat dokumenter dari sudut pandang metalhead dan sialnya saya disuruh menjadi salah satu metalhead itu. Huh!

Terus terang bisa dibilang saya sendiri belum pernah menikmati secara tuntas semua konser RIS ini, karena setiap datang selalu sebagai pekerja. RIS yang ke tujuh ini pun saya akhirnya membantu kawan-kawan media center untuk membuat semacam highlight yang akan di-update sepanjang event berlangsung.

Seperti kebanyakan konser, penampilan awal seperti Bankeray, Infectious Arteries, Nadi, Sisi Selatan, Kapital penonton di depan panggung belum banyak. KM09 dan DJIN menghantam panggung dengan brutal dan mulai memancing metalhead dipinggir lapangan untuk bergabung ke depan.

Setelah break Magrib, orkes simponi gotik Kedjawen666 dari Bogor, membuka malam di Lapangan Kota Barat. Ada banyak pertanyaan dikepala tentang band yang ini. Dengan nama “Kedjawen” dilengkapi dengan “666”, apakah itu suatu perkawinan spiritual Jawa dengan kegelapan jahat dalam ranah bible? Mengapa sang vokalis menggunakan patch bendera Norwegia? Memang hal yang kontras dengan riset kami tentang “trve” Javanese Black Metal.

Straightout dan Jihad sungguh membuat metalhead berjihad di moshpit. Rumput mulai terkikis dan debu terbang diantara para penikmat kebisingan. Lalu ada Down For Life kelompok ‘ketoprak’ metal lokal Solo dengan Adjie sang vokalis yang selalu melucu di sela lagu. Sebelumnya saya sempat meminta agar dibuatkan wall of death di penampilan mereka nanti. Untuk mendapat gambar yang lebih bagus saya naik ke lantai dua FOH sedangkan Anggula Brintik rekan saya memposisikan diri disekitar panggung. Ternyata Adjie mengabulkan permintaan saya, penonton yang padat diminta membelah menjadi dua dan kemudian sekali lagi aksi wall of death RIS 2013 menjadi koleksi saya.

Mendekati akhir lagu, dari lantai dua FOH terlihat kerumunan yang tidak biasa di sisi kanan. Seseorang penting telah datang tadinya saya mengira yang datang adalah Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, hingga terdengar gemuruh metalhead: “Jokowi… Jokowi… Jokowi…”. Secara mendadak Gubernur Metal DKI itu datang di tengah kerumunan brutal tersebut. Untuk mendapatkan gambar yang bagus saya langsung turun dan menuju backstage, tempat biasanya para pejabat dijamu. Namun Jokowi malah berhenti di tengah kerumunan. Pak Jos, seorang legenda di event musik tanah air itu panik dan malah menyuruh saya membuka jalan menerobos ribuan metalhead untuk meminta Jokowi ke FOH. Siap Laksanakan!

Jokowi selamat masuk ke dalam FOH dan saya pun kehilangan kesempatan mengambil gambar lebih dekat karena tubuh ini seperti remuk bagai disiksa Gorgoroth. Jokowi menonton selama satu lagu Down For Life, dan penonton di sekitar FOH menonton Jokowi. Lalu lintas twitpic, instagram, path pasti menjadi sibuk dengan posting foto Jokowi. Setelah Down For Life selesai, Jokowi pulang dan tetap dikerumuni metalhead, saya mencari kesempatan untuk memberikan oleh-oleh khas Solo yaitu DVD Rockumentary RIS 2011 dan 2012 semoga ditonton beliau di sela-sela blusukan Jakarta.

Hour Of Penance sebagai band utama di hari pertama tampil maksimal dengan technical death metalnya, diselingi oleh solo drum dari James Payne. Kebisingan Hour Of Penance menutup malam minggu yang brutal di Solo. Para metalhead pulang dengan tertib dan mempersiapkan tenaga untuk hari ke-dua, Minggu gelap dengan misa malam oleh Behemoth.

Link:

BLACK ODYSSEY Part 4: Solo, Return to Hangar

Karena bosan mununggu bus menuju Solo, maka saya dan Yuka memutuskan untuk segera naik bus yang pertama lewat. Sebelumnya kami sepakat untuk tidak naik bus ‘Siksa Kubur’ yang dikenal sering celaka itu. Tanpa pikir panjang kami langsung naik ke bus yang berhenti saat itu. Walaupun bukan bus SK, tetap saja kecepatan dan kelincahan sopir membuat nyali kami ciut. Satu-satunya cara mengatasi ketakutan adalah tidur dan berharap bangun di di Solo.

Solo buat saya adalah kota kedua sejak merekam peristiwa Rock In Solo 2011. Langsung menuju Sunan hotel dan berjumpa kembali dengan orang-orang hebat pelaksana Rock In Solo. Press Con berlangsung santai, tidak lupa saat mendapat giliran kami ngoceh tentang riset dan rencana pembuatan dokumenter Javanese Black Metal. Pre-promo?

Setelah beristirahat di kantor The Think Organizer, saya langsung mempersiapkan produksi DVD Report Rock In Solo 2012 secara tradisional menggunakan DVD-R satu persatu yang menyita waktu. Rencana mengunjungi candi Cetho dengan Doni cs. gagal. Yuka lebih beruntung karena berkesempatan diajak Djiwo (Makam), Eep (Obor Setan) dan Usman (Kalabintalu) ke sebuah situs mata air keramat. Wuih!

Malam hari akhirnya saya mendapat kesempatan ke Kartel Store untuk bertemu Djiwo, salah satu nara sumber utama untuk dokumenter ini. Selain saya dan Yuka ada Gede (StageID) dan Rio, yang juga mempunyai dalam proses pembuatan buku dan pameran fotografi tentang scene Javanese Black Metal. Djiwo adalah salah satu penampil di hari ke-dua Rock In Solo 2013 dengan proyek di luar bandnya, Makam. Djiwo banyak bercerita tentang proyeknya dan perbedaan dalam musik dan konten dengan Makam.

Dini hari saya balik ke markas The Think melanjutkan produksi dvd untuk besok harinya: konser jahanam Rock In Solo 2013. See you at the mosh pit \m/

Link

BLACK ODYSSEY Part 3: Kediri, Reign of Fire

Catatan arah ke markas band Immortal Rites telah lengkap, jadilah dengan kereta ekonomi kami berangkat menuju Kediri. Setibanya kami langsung dijemput Billy vokalis Pandhowo yang juga adalah adik dari Doni gitaris Immortal Rites.

Doni langsung menjamu di distro miliknya Mystic Division 99 tidak jauh dari RS. Baptis. Dari koleksi cd, kaos dan aksesoris metal yang dijual tampak dinamika scene metal yang sangat aktif di kota Kediri. Berbagai scene di kota ini menjadi satu, sangat kompak dan saling mendukung.

Perkenalan dan bincang-bincang dilanjutkan di rumah Doni sekitar lima ratus meter dari MD99. Di bagian belakang rumahnya, sebuah kamar terbuka kecil dengan poster-poster dan foto-foto perjalanan karir Immortal Rites. Walaupun sempit kamar ini telah menjadi satu pusat berkumpulnya komunitas underground di Kediri. Bersama kami hadir juga Win, bassist Immortal Rites yang menyempatkan diri disela kesibukannya sebagai panitia perayaan 1 Suro.

Dari perbincangan kami tentang Javanese Black Metal mengarah ke topik yang menarik yaitu pelestarian situs-situs bersejarah Jawa. Doni dan kawan-kawan pengusung Javanese Black Metal menempatkan situs bersejarah menjadi titik penting dalam bermusik. Candi-candi dan situs yang biasa disebut keramat telah menjadi kebutuhan inspirasi, spiritual, sejarah, dan kesadaran menjaga warisan budaya. Saya dan Yuka sempat diajak untuk ikut serta dalam kunjungan mereka ke beberapa candi di Jawa Tengah yang berhubungan dengan materi untuk album baru Immortal Rites.

Album kompilasi Metal Aggression yang
didukung oleh Walikota Kediri
Saya sempat bertanya apakah memungkinkan untuk mewawancarai Arifin, mantan vokalis Immortal Rites yang juga adalah kolega Doni dalam studi kejawaan. Sayang sekali dari penuturan Doni maupun Win sepertinya butuh pendekatan yang lebih jauh untuk bisa mewawancara Arifin dengan kondisi emosi yang meledak-ledak. Walaupun tidak aktif lagi sebagai vokalis, Arifin kerap bertindak sebagai penulis lirik-lirik Immortal Rites. Terutama yang berbahasa Jawa dan membutuhkan interpretasi yang dalam.

Pukul 2 dini hari saya dan Yuka diantar oleh Doni ke tempat perhentian bus untuk menuju Solo, mengejar acara Press Conference Rock In Solo 2013 sekaligus Launching DVD Rock In Solo 2012. Kami berjanji untuk bertemu lagi dengan Doni cs. di ganasnya moshpit Rock In Solo. Hellyeah!!!

Tujuan berikut: Surakarta

Link:

BLACK ODYSSEY Part 2: Gempol, Fade To Black

Karena urusan mendadak Ardiansyah terpaksa harus balik ke Jakarta, saya dan Yuka tetap melanjutkan perjalanan. Kali ini Sidoarjo adalah tujuan kami. Kekhawatiran tentang demo buruh ternyata tidak seantusias pemberitaan media. Jalanan Surabaya tetap lancar. Sempat terdengar gurauan miris kondektur Damri “…buruh minta gaji 3 juta, lha saya 25 tahun di PPD gaji masih 750 ribu..” Yeah!

Setelah dipalak 75ribu oleh tukang rawon terminal, kami naik bus jurusan Malang yang melewati persimpangan Japanan, sekitar satu kilometer dari rumah Andhoenk, vokalis Sacrifice.

Setibanya ternyata Andhoenk yang sehari-hari bekerja sebagai buruh ada di rumah. Mungkin daripada berdemo dia lebih memilih berdiskusi masalah metal. Pertemuan kali ini adalah perkenalan langsung dengan Yuka. Maka diskusi intens terjadi antara Yuka dan Andhoenk. Saya sendiri ingin menagih janji Andhoenk untuk mengantarkan ke sebuah situs beberapa kilometer dari rumahnya.

Perbincangan tentang Javanese Black Metal berlangsung santai disela kopi hitam. Sekitar jam lima sore, Niken istri Andhoenk tiba dan ikut berbincang dengan kami. Niken adalah seorang pemerhati budaya dan aktivis lingkungan, perbincangan budaya dan spiritual Jawa menjadi tambah seru. Hadir pula Adi, vokalis Wisik band Javanese War Metal yang selama ini menjadi partner diskusi Andhoenk di Javanese Black Metal.

Mengingat hari makin gelap saya mengajak Andhoenk untuk mengantarkan saya ke situs Raos Pacinan. Andhoenk dan rekan-rekan sesama Javanese Black Metal memang sering berkunjung ke situs-situs yang banyak tersebar di Jawa Timur untuk kebutuhan menggali sejarah ataupun spiritual. Dengan berboncengan jadilah kita melaju ke Raos-Pacinan tak lupa Andhoenk mengajak putrinya yang merengek minta ikut.

Sepertiga perjalanan ban motor Andhoenk kempes. Sambil menunggu bengkel yang ditinggal pemiliknya kami menitipkan motor dan meneruskan perjalanan dengan jalan kaki. Perjalanan lumayan jauh, jalan kecil berpasir dikelilingi perkebunan tebu dan ditambah kami harus bergantian menggendong putrinya.

Sekitar 30 menit akhirnya kita tiba di situs Raos Pacinan, maghrib telah lewat dan kegelapan muncul begitu cepat. Kamera saya yang disiapkan dengan baterai penuh dan 2 card cadangan menjadi sia-sia. Tidak ada gambar yang terekam. Cara satu-satunya adalah dengan night vision, tapi tunggu dulu…dokumenter ini bukan tentang dunia lain atau program uji nyali. Dengan mata alami tetap terlihat bentuk 2 dwarpala setinggi 2 meter berjaga gagah. Dengan adanya arca dwarpala bisa dipastikan situs ini adalah sebuah gerbang. Sayang kondisi arca telah sangat rusak, detil wajah telah terkikis habis.

Arca dwarpala Raos Pacinan terletak dilebih rendah dari permukaan tanah lahan perkebunan tebu. Bahkan nyaris tidak tampak dari jarak 100 meter, semua tertutup tingginya tanaman tebu. Yang menjadi penanda hanya sebuah pohon besar di pinggir situs. Situs ini terletak tidak jauh dari kali Brantas yang kini menghitam dan penuh sampah. Dua Dwarpala itu adalah penjaga gerbang menuju kerajaan Jenggala yang juga menghitam terkubur lumpur.


Sidoarjo dengan petaka lumpurnya kini telah menghasilkan sebuah scene black metal yang besar di Jawa Timur. Para ksatria Jenggala seakan ber-reinkarnasi ke musisi Javanese Black Metal untuk menyuarakan kekecewaan, kemarahan dan menjadi pembela budaya.

Tujuan berikutnya: Kediri

BLACK ODYSSEY PART 1: Surabaya, Stranger in the Strange Land

Kali ini kontingen riset adalah saya, Yuka (peneliti subkultur) dan Ardiansyah (animator 3D). Sedangkan Haris (editor video) berhalangan dengan jadwal kerja dan kuliahnya. Perjalanan kali ini adalah semacam recce ke titik-titik Javanese Black Metal yang ada di Jawa Timur.

Setelah mencocokkan jadwal dengan para nara sumber Javanese Black Metal di Sidoarjo dan Kediri, maka pertemuan pertama adalah dengan Dian, bassist band Sengkologeni asal Surabaya. Sekitar dua minggu sebelumnya saya telah bertemu dengan para Real Militia, sebuah tongkrongan di pinggir rel tepat di belakang Mall Royal, dimana berkumpulnya aktivis metal Surabaya dan Madura seperti Sengkologeni dan Rajam.

Dari perbincangan dengan Dian tentang latar belakang pengetahuan tentang ke-Jawa-an, Dian mengaku memperolehnya dari keluarga dalam hal ini ayah dan kakeknya yang sangat mengerti dengan budaya dan spiritual Jawa. Dari tutur cerita mereka Dian mempunyai kesadaran untuk merekamnya dalam bentuk Javanese Black Metal. Dengan kendaraannya band Sengkologeni, Dian cs. Adalah kelompok yang dalam jalur terus berkembang dan mempelajari tentang Jawa.


Selayaknya metropolitan, Surabaya adalah kota besar dimana ide-ide dan usaha penggalian sejaran dari budaya di kalangan muda kalah bersaing dengan upaya mengejar lifestyle modern. Manusia telah menjadi orang asing di tanah mereka sendiri. Kota-an. Sebenarnya yang dilakukan oleh Dian dan Sengkologeni adalah perpaduan yang harmonis antara budaya dan musik modern. Walaupun disebut underground, menjadi Metal itu adalah modern, atau dalam istilah ngaco saya: dark hipster. Dan… ber-Metal dengan budaya lokal…saya sebut itu KEREN!


Jenggala Records

Selagi Yuka berbincang dengan Dian, kami kedatangan tamu dari scene Sidoarjo. Bima, bassist Thirsty Blood dan pemilik dari Jenggala Records. Jenggala Records hadir sebagai sosok industri di dunia kegelapan bawah tanah scene metal Sidoarjo dan sekitarnya. Sebuah langkah yang sangat saya kagumi.

Selama ini Bimo telah memproduksi sejumlah album seperti Nglayat, Danyang Kuburan, Sekar Mayat, Banaspati, Kantong Simayit, dan album split Mapez (Indonesia)/ Antaboga (Malaysia). Jumlah copy tiap album hanya sekitar 50 keping dangan ‘royalty’ ke pihak band berupa 5-10 buah cd. Album fisik berupa CD-R yang di-burn dengan drive cd komputer, diberi label manual dan untuk menjaga agar tidak luntur permukaan label disemprot dengan cat pelapis bening. Distribusi Jenggala Records mencakup distro di kota-kota lain dan lewat sosial media. Sangat sulit mencari koleksi lengkap dari label ini karena sebagian besar album telah habis dibeli.

Dian (Sengkologeni) & Bima (Jenggala Records)
Bimo memang dihadang masalah dana produksi akan tetapi label Jenggala Records telah memberikan budaya membeli dan mengkoleksi album fisik di kalangan metalhead. Bimo juga telah berhubungan dengan label dan band-band Eropa seperti Jerman dan Perancis yang nanti akan ditawarkan untuk album split dengan band-band Indonesia.

Selain label-label besar underground yang ada di Jawa Timur, Jenggala Records adalah sebuah contoh perputaran bisnis dalam sebuah scene. Dimana mereka menjadi lingkaran swadaya aktif antara band-metalhead-artworker-label-distro. Sebuah hal yang kontras dengan dunia saya, dunia film indie dan dokumenter, sebagian besar pelaku sibuk berkeluh-kesah dan sibuk galau dengan distribusi film yang akhirnya berakhir di layar festival dan youtube.

Perjalana selanjutnya: GEMPOL, FADE TO BLACK


Link online store Jenggala Records:
email:

Wednesday 14 August 2013

Metal Alay?


Ketika menjelajah halaman-halaman Facebook untuk mencari info tentang musik black metal, tanpa sengaja saya menemukan gejala baru -atau mungkin sudah lama- yang justru berhubungan dengan yang disebut ALAY. Ada apa dengan black metal dan alay? Bukankah terlihat sangat berlawanan?

Alay merujuk ke gaya anak muda yang cenderung berlebihan -lebay- lengkap dengan aksara dan linguistik yang ajaib. Dengan mudah bisa dikenali dari cara mereka menuliskan nama di halaman Facebook. Contohnya...

-LophuZhatteppbrsabbarmencarrii Ksetiiaandciindta SlmanyakwekKwok
-Dothreea Ciiynonnaluphpink Laggieethuinkkthuinkk
-Diatta Aiishiterru NArutto FoRevver

Nah...yang unik adalah penamaan dengan menggunakan kata-kata yang biasanya digunakan oleh para musisi metal khususnya black metal. Mari kita lihat...

-Ibliezz Dajjal Skrop Katel
-Rieztgroundgothicaldarkness Shimponydamaidalamjiwa
-Darah Hitam Setan Terbelenggu
-Putri Bangkai Para Pendosa
-Sugab Deathvomitbloodvomitduor
-Giman'Syah Menembus Gerbang Kesunyian

Apakah mereka semua diatas adalah alay? Atau sedemikian kuat kah black metal sehingga menjadi sebuah lifestyle yang membuat mereka merubah nama yang indah dengan kata-kata yang menyeramkan?

Hey, alay juga bisa metal! Mereka bisa mengakui bahwa Ya! Gue alay...Tapi gue alay metal! Atau bisa sebaliknya. Gue anak metal...dan gue juga bisa alay!

Gejala penamaan di Facebook dengan kata-kata yang "GRIM", membuktikan black metal telah memberikan pengaruh yang besar terhadap pendengarnya. Akan tetapi juga bisa berdampak negatif untuk scene ini, black metal malah kerap dicap sebagai genre lawak, yang hanya menampilkan atraksi menyeramkan di atas panggung yang akhirnya mendapatkan stempel 'poser'.

Maaf untuk blackmetalheads yang menggunakan nama-nama 'grim' jangan tersinggung atas tulisan ini. Setidaknya anda mampu menjadi satanic, pagan, bejat, gelap dan brutal di alter ego virtual.

\m/
Bekasi, Agustus 2013
KameradEdmond Pencabutkehidupan Berkaosbuntunghitam BlackNista

Monday 12 August 2013

Javanese Black Metal sectie Jenggala

Poster acara Jalur Bebas Jatim
Pertengahan Juni 2013 saya datang ke Sidoarjo untuk menyaksikan sebuah gig metal Jalur Bebas 8 Penjuru Jawa Timur. Tiba di venue ternyata acara tertunda beberapa jam karena masalah teknis. Sayang baru saja menyaksikan Tewas band asal Pasuruan dan atraksi Reog Ponorogo, saya telah dijemput oleh Bima, eigenaar Jenggala Production dan bassis Thirsty Blood. Tujuan utama saya adalah bertemu Jenggala Black Metal Legion untuk riset dokumenter tentang Javanese Black Metal (JBM). Maka berangkatlah kami ke kediaman Andhoenk vokalis Sacrifice yang bisa disebut sebagai band garda depan Javanese Metal untuk area Jawa Timur. Vrooommm….


Andhoenk vox Sacrifice
Adalah Djiwo vokalis Makam (Solo) yang memberikan referensi untuk menemui Andhoenk sebagai nara sumber untuk daerah Jawa Timur. Rumah Andhoenk terletak di daerah Gempol tidak jauh dari lokasi lumpur celaka Lapindo. Perbincangan dengan Andhoenk langsung terasa akrab, tak ketinggalan Adi vokalis band Javanese War Metal Wisik membuat percakapan langsung mengarah ke sebuah scene metal yang sedang berkembang di Jawa Tengah dan Jawa Timur ini.

Scene JBM ternyata tidak sebatas musik tetapi telah berkembang menjadi gerakan budaya yang menggali kembali akar budaya Jawa. Scene yang melirik ke belakang dan terbagi menurut asal-usul kerajaan-kerajaan di Jawa Timur. Pergerakan ini membentuk sub-scene JBM seperti Jenggala Legion (Sidoarjo), Kediri Metal dan Dhoho. Beberapa band yang tergabung dalam Jenggala Legion diantaranya Sacrifice, Wisik, Mongsopati, Sekar Mayat, Thristy Blood dan Danyang Kuburan.

Jawa Timur yang sosial – kultural nya sangat kuat pengaruh Islam, ternyata mempunyai scene JBM yang berjalan seiring dengan spiritual Jawa. Sungguh berbeda dengan prediksi saya sebelumnya bahwa akan terjadi penolakan terhadap unsur spiritual Jawa. Kenyataannya mereka adalah musisi dengan dengan Islam sebagai agama dan Jawa adalah DNA, berjalan beriringan. Komunitas JBM telah menjadi arena pembelajaran mereka tentang sejarah budaya dan spiritual Jawa. Penggunaan lirik, simbol dan huruf Jawa telah menggantikan simbol pentagram, 666 dan sosok setan antah berantah.
 
Proses Artwork karya Andhoenk
Ada yang menarik dari perjalanan riset ini adalah proses penggambaran artwork untuk sampul album maupun merchandise band. Andhoenk yang juga adalah perupa mendapatkan ‘inspirasi’ melalui sebuah proses spiritual dan dengan mendatangi situs-situs peninggalan kerajaan-kerajaan di Jawa. Sebagian karya Andhoenk bisa dilihat di http://kundolangit-art.blogspot.com/
Album Sacrifice yang dirilis oleh label Ukraina
Album Wisik yang dirilis oleh label Ukraina

Wisik
Ada pula Wisik, band beraliran Javanese War Metal dengan vokalisnya Adi Cemeng yang mengangkat tema perang. Secara spesifik Wisik membahas tentang berbagai senjata yang digunakan dalam perang di dunia supranatural. Sebuah tema yang pastinya membutuhkan penelusuran secara budaya yang mendalam.

Scene JBM telah menjadi sebuah scene yang istimewa karena sangat kuat hubungannya antara konteks dan musisi, dimana mereka adalah praktisi langsung dan pejuang kebudayaan. Mereka bukan band yang memprotes politik atau isu sosial dan setelahnya bergembira di kedai bir. Kalau kita selalu berdebat tentang budaya, inilah sebuah gerakan budaya baru Nusantara yang sementara berkembang.

Bagi yang tertarik mengkoleksi cd yang dirilis terbatas oleh Jenggala Production silakan ke halaman FB mereka: http://on.fb.me/15ULWdI atau http://on.fb.me/17j0Aut untuk mercandise.