Friday 28 September 2012

Pagan Black Metal = Kombatan Budaya

Black Metal, sebuah sub-genre yang selalu dihubungkan dengan satanic dan penghujatan agama, ini mengacu dari kawasan Nordic yang menjadi tanah subur perkembangan musik ini.  Bahkan bagi sebagian penggemar metal di Indonesia kerap dijadikan anekdot: muka coreng moreng ala pantomim dan aksi-aksi ekstrim penumpahan darah hewan-hewan imut. Keadaan ini kemudian diperparah dengan munculnya supergrup-one hit wonder- Kuburan Band yang menggunakan corpse paint tiap tampil di televisi.

Apakah genre ini bisa besar di Indonesia yang kadar keagamaannya tinggi? Sanggupkah musisinya menjadi satanic yang baik dan benar? Apakah mereka mempraktekkan pemanggilan vampir atau warewolf? Pertanyaan itulah yang selalu mengusik saya dan kemudian terjawab ketika bertemu dengan seorang Djiwo Ratriarkha.

Djiwo Ratriarkha adalah vokalis dari band black metal asal Surakarta, MAKAM. Djiwo juga bekerja sebagai pengajar kebudayaan di sebuah kampus seni dan praktisi budaya dan kesenian di istana Mangkunegaran. Yang terjadi kemudian adalah sebuah penjelasan intens tentang JAVANESE PAGAN BLACK METAL.

Djiwo (Makam)
Sekitar sepuluh tahun terakhir di Jawa Tengah beberapa band black metal telah mempunyai suatu kesadaran bahwa membawakan metal dengan isu-isu kopian dari band-band Nordic adalah tindakan poser. Nusantara ini tidak mengenal dewa-dewa maupun segala iblis dan hantu Eropa. Tetapi Nusantara dan Nordic mempunyai isu yang sama dalam budayanya yang kemudian menjadi gerakan yang berpusar dalam black metal. Mereka sama-sama menyadari bahwa budaya religi baru telah menggantikan spiritual asli yang sekaligus memberi terjemahan kepada spiritual pagan sebagai pemuja berhala. Isu ini akhirnya menjadikan musisi black metal di Indonesia mempunyai misi yang lebih jelas dalam bermusik.

Menurut Djiwo setiap orang yang memposisikan dirinya sebagai metalhead adalah kombatan, pejuang. Metal bukanlah musik yang sekedar didengarkan sambil ngopi atau pengisi ambience, karena dalam musiknya terdapat kritik yang lugas. Perjuangan dari musisi pagan black metal ini diantaranya mengkritik stigma buruk terhadap spiritual asli Jawa yang telah ada jauh sebelum kepercayaan Abrahamic datang ke nusantara. Gerakan ini juga memberikan edukasi dalam liriknya tentang kearifan spiritual jawa.

Desain kaos black metal dengan unsur lokal
Di distro miliknya, Kartel Blak Dealer di daerah Jagalan, Solo, Djiwo kerap menjadikan tempat berkumpulnya para 'pagan front'. Dari merchandise yang ada terlihat desain-desain yang mengacu dari nilai lokal tanpa mengurangi unsur sangar dari metal itu sendiri. Desain kaos bergambar Gunungan wayang, sosok Shiva Bhairawa dan Garuda telah berubah menjadi panji-panji black metal. Di kemudian hari pagan black metal ini bukan tidak mungkin menjadi garda depan kombatan budaya nusantara, terlihat dari data perkembangan paham yang sama di Jawa Timur sampai Kalimantan dengan Dayak Pagan Front.


Perbincangan menarik ini terlalu panjang untuk diketik disebuah blog. Saya pun menjadikan topik Javanese Pagan Black Metal sebagai proyek rockumentary berikut. Masih panjang daftar interview dengan para kamerad kombatan ini, Bandoso, Sekar Mayat, Danyang Kuburan, Obor Setan dan nama-nama angker lainnya.

Ya. Kali ini jangan ada lagi Kuburan Band, satanic salah kaprah dan black metal posers.
Wish Me Luck...\m/



Kramat Raya, 29/09/12

please visit:
http://www.kartelstore.com/
http://www.myspace.com/makamraiderklan

Thursday 27 September 2012

ROCK IN SOLO - A PILGRIMAGE



Belum lama rasanya menenteng kamera dari panggung ke panggung perhlatan metal terbuka Rock In Solo 2011 yang lalu. Kali pertama saya berkenalan dengan scene metal Solo, kota yang lebih dikenal dengan keroncong dan campur-sari nya. Setelah memutuskan untuk membuat dokumenter tentang event ini, saya membayangkan akan bertemu dengan sebuah event organizer besar yang mampu mendatangkan Death Angel, Kataklysm dan Deranged. Ternyata dugaan saya meleset.

The Think Organizer ternyata adalah perusahan yang berkantor di ruang tamu rumah salah satu pendirinya. Tidak ada tampang metroseksual dari pekerjanya. Sebagian besar pemuda-pemuda Solo ini pun sehari-harinya bekerja dengan seragam kaos metal. Ya, dari 'tongkrongan' sederhana ini lah mereka mencetuskan sebuah konser metal berskala besar untuk ukuran Asia.



Konser tahun 2011 ini diadakan di Alun-alun Utara Keraton Solo dengan empat panggung. Hari itu venue dipenuhi sekitar 8000 metalheads dari berbagai daerah. Berbeda dengan di Jakarta, konser di Solo ini terlihat seperti sebuah 'gathering' dimana para metalhead harus menempuh sebuah perjalanan ke kota Solo, berkumpul di satu tempat yang sakral secara budaya. Menjadikan aura konser ini menjadi sebuah ritual wajib bagi mereka lengkap dengan gerakan-gerakan dan prosesi 'penyembahan', headbang massal, moshpit, circle hingga wall of death yang bisa meremukkan tulang. Kepala yang pusing karena headbang, keseleo, lebam dan berbagai nyeri di arena ini seakan menjadi semacam ritual pertobatan dan penebusan amarah. Di sini lah letak perbedaan dengan konser metal di kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung dimana banyak penonton yang datang ke konser karena unsur 'lifestyle' konser tersebut terlalu besar.

2012 saya datang lagi mengunjungi kantor sederhana di daerah Kartopuran ini dan menyaksikan sindikat merencanakan lagi Rock In Solo 2012. Kali ini mereka menemui tantangan yang lebih besar diantaranya sulitnya sponsor dan kesulitan mendapatkan venue yaitu puing Benteng Vastenburg.  Akhirnya diputuskan untuk tetap menggunakan Alun-alun Keraton Solo. Lokasi ini juga tampak sesuai dengan slogan konser ini: Kingdom Metal Fest 2012.

Rock In Solo sejak 2004 telah menjadi agenda tetap metal di Indonesia. Dari penontonnya banyak yang telah menganggap acara ini adalah ziarah tahunan, tidak peduli lokasi ataupun band yang tampil, mereka akan tetap hadir. Beberapa band terkemuka yang telah tampil bahkan meminta panitia untuk selalu tetap mengundang mereka. Saya bertanya kepada Stephanus Adjie (vokalis Down For Life sekaligus ketua panitia), Apa yang membuat Rock In Solo berbeda?
"Rock in Solo adalah sebuah metal fest dari metalheads untuk metalheads. Dimana mereka sendiri yang menjadi sponsor utama." jawabnya.

Ya. The Think bukan event organizer sekelas Java atau Original dengan penyandang dana dan sponsor yang masif. Mereka hanya gerombolan anak metal Solo yang sangat mengerti betul bagaimana membuat sebuah Metal Heritage di sebuah Metal Kingdom. Selamat bekerja kamerad-kamerad. Sampai jumpa di Alun-alun Utara Solo 13 Oktober 2012.

For Those About To Rock, We Salute You!  \m/


-----------------------------------------------------------------------
DVD Rockumentary saya tentang Rock In Solo-Heritage Metal Fest 2011 akan rilis bersama dengan perhelatan Rock In Solo 2012.


Bekasi, 28 September 2012