Friday 15 November 2013

BLACK ODYSSEY Part 2: Gempol, Fade To Black

Karena urusan mendadak Ardiansyah terpaksa harus balik ke Jakarta, saya dan Yuka tetap melanjutkan perjalanan. Kali ini Sidoarjo adalah tujuan kami. Kekhawatiran tentang demo buruh ternyata tidak seantusias pemberitaan media. Jalanan Surabaya tetap lancar. Sempat terdengar gurauan miris kondektur Damri “…buruh minta gaji 3 juta, lha saya 25 tahun di PPD gaji masih 750 ribu..” Yeah!

Setelah dipalak 75ribu oleh tukang rawon terminal, kami naik bus jurusan Malang yang melewati persimpangan Japanan, sekitar satu kilometer dari rumah Andhoenk, vokalis Sacrifice.

Setibanya ternyata Andhoenk yang sehari-hari bekerja sebagai buruh ada di rumah. Mungkin daripada berdemo dia lebih memilih berdiskusi masalah metal. Pertemuan kali ini adalah perkenalan langsung dengan Yuka. Maka diskusi intens terjadi antara Yuka dan Andhoenk. Saya sendiri ingin menagih janji Andhoenk untuk mengantarkan ke sebuah situs beberapa kilometer dari rumahnya.

Perbincangan tentang Javanese Black Metal berlangsung santai disela kopi hitam. Sekitar jam lima sore, Niken istri Andhoenk tiba dan ikut berbincang dengan kami. Niken adalah seorang pemerhati budaya dan aktivis lingkungan, perbincangan budaya dan spiritual Jawa menjadi tambah seru. Hadir pula Adi, vokalis Wisik band Javanese War Metal yang selama ini menjadi partner diskusi Andhoenk di Javanese Black Metal.

Mengingat hari makin gelap saya mengajak Andhoenk untuk mengantarkan saya ke situs Raos Pacinan. Andhoenk dan rekan-rekan sesama Javanese Black Metal memang sering berkunjung ke situs-situs yang banyak tersebar di Jawa Timur untuk kebutuhan menggali sejarah ataupun spiritual. Dengan berboncengan jadilah kita melaju ke Raos-Pacinan tak lupa Andhoenk mengajak putrinya yang merengek minta ikut.

Sepertiga perjalanan ban motor Andhoenk kempes. Sambil menunggu bengkel yang ditinggal pemiliknya kami menitipkan motor dan meneruskan perjalanan dengan jalan kaki. Perjalanan lumayan jauh, jalan kecil berpasir dikelilingi perkebunan tebu dan ditambah kami harus bergantian menggendong putrinya.

Sekitar 30 menit akhirnya kita tiba di situs Raos Pacinan, maghrib telah lewat dan kegelapan muncul begitu cepat. Kamera saya yang disiapkan dengan baterai penuh dan 2 card cadangan menjadi sia-sia. Tidak ada gambar yang terekam. Cara satu-satunya adalah dengan night vision, tapi tunggu dulu…dokumenter ini bukan tentang dunia lain atau program uji nyali. Dengan mata alami tetap terlihat bentuk 2 dwarpala setinggi 2 meter berjaga gagah. Dengan adanya arca dwarpala bisa dipastikan situs ini adalah sebuah gerbang. Sayang kondisi arca telah sangat rusak, detil wajah telah terkikis habis.

Arca dwarpala Raos Pacinan terletak dilebih rendah dari permukaan tanah lahan perkebunan tebu. Bahkan nyaris tidak tampak dari jarak 100 meter, semua tertutup tingginya tanaman tebu. Yang menjadi penanda hanya sebuah pohon besar di pinggir situs. Situs ini terletak tidak jauh dari kali Brantas yang kini menghitam dan penuh sampah. Dua Dwarpala itu adalah penjaga gerbang menuju kerajaan Jenggala yang juga menghitam terkubur lumpur.


Sidoarjo dengan petaka lumpurnya kini telah menghasilkan sebuah scene black metal yang besar di Jawa Timur. Para ksatria Jenggala seakan ber-reinkarnasi ke musisi Javanese Black Metal untuk menyuarakan kekecewaan, kemarahan dan menjadi pembela budaya.

Tujuan berikutnya: Kediri

No comments: