Monday 27 April 2015

METAL, PANTAI DAN KOTA MANADO - Catatan pulang kampung



Mercusuar di tengah kota manado.
Medio Mei 2015 saya dan beberapa kru The Anarcho Brothers mendapatkan peluang untuk ke Manado. Bagi saya merupakan perjalanan pulang kampung sedangkan bagi Haris (editor) dan Nanda (script) adalah perjalanan membuktikan urban legend tentang wanita-wanita cantik Manado.


SCENE IN PROGRESS
Ditengah kesibukan kami mencari sempatan bersua dengan gerombolan hitam kota, scene metal Manado, North Celebes Infantry Batallions. Sebuah kehormatan kami diundang untuk ngopi-ngopi bersama. Gelora metal di Manado menarik karena saya bisa melihat proses bertumbuhnya sebuah scene dengan akar kampus dan warung kopi. Band Durhaka adalah salah satu pelopor The Second Wave musik Metal di Manado. Sebelumnya scene metal gelombang pertama sekitar tahun 80an dengan nama-nama seperti Mekathana, Red Bifi, Justisia dan D'Bosco hingga awal 90an meredup.


Scene metal Manado dengan genre black metal yang menonjol adalah fenomena di sebuah kota dengan kadar sayap kanan yang tinggi. Diantara stereotipe anak muda Manado yang trendi dan wangi ditambah dengan tingkat religius masyarakat yang tinggi, gerombolan ini menjadi simbol penyadaran sosial bahwa setiap kota punya sisi gelap. Masyarakat Manado selalu merasa nyaman dengan kotanya hingga kerap melupakan masalah-masalah diantara mereka. Saya sendiri sangat berharap kepada scene ini untuk menjadi suara kritis bagi kota dan masyarakat. Saatnya Manado mempunyai suara lantang untuk menyadarkan bahwa banyak cacat sosial yang terabaikan seiring dengan ibadah minggu.




Ngopi-ngobrol dengan kawan-kawan NCIB berlangsung di sebuah warung kopi Kitawaya di seberang bioskop tua art deco yang sekarang kosong. Pemiliknya adalah tokoh rohani yang giat melakukan diskusi gospel di tempat itu. Momen paling menarik adalah disaat kami dengan khusyuk berbincang tentang black metal, kidung pujian dinyanyikan oleh para pemuda gereja di meja sebelah. 
Indahnya perbedaan.

PANTAI MANA PANTAI
Tidak kuasa dengan rengekan Haris dan Nanda akhirnya saya mengantar mereka ke pantai sepanjang Malalayang. Bertahun tidak menjenguk kampung, semuanya sudah berubah. Sepanjang garis pantai Manado sebagian besar telah menjadi milik pribadi dan kemudian direklamasi. Para pengusaha telah membuat resort reklamasi dengan impian menciptakan mini Dubai. Sulit mencari pantai terbuka untuk publik.


Disatu sisi pemerintah kota sedang giat-giat nya mencanangkan Manado kota Cerdas 2020. Mungkin pemkot Manado butuh sekolah lagi untuk menafsirkan kata Cerdas. Kota ini butuh public space dimana masyarakat berbagai kalangan bertemu, dan mulai menyingkirkan manusia partai dan menggantinya dengan profesional yang lebih mengerti tentang tata kota, kesenian dan budaya.
Habit primordial yang telah dirusak kolonial ratusan tahun telah membuat pola pikir masyarakat kota Manado menjadi pecandu kenyamanan. Nyaris mustahil melaksanakan sebuah produksi (film, misalnya) tanpa ngaret. Maka tidak jarang untuk membangun sebuah booth pameran tenaga tukang harus diimpor dari pulau seberang.


Pesan untuk Manado, 'kenyamanan' itu berbahaya.
Pesan untuk NCIB, jadilah 'ketidaknyamanan' untuk kota kami.


I YAYAT U SANTI \m/


Sario, 28 April 2015


Kamerad Edmond

Lahir dan bertumbuh di Manado, dewasa di tanah orang.

No comments: