Karena urusan mendadak Ardiansyah terpaksa
harus balik ke Jakarta, saya dan Yuka tetap melanjutkan perjalanan. Kali ini
Sidoarjo adalah tujuan kami. Kekhawatiran tentang demo buruh ternyata tidak
seantusias pemberitaan media. Jalanan Surabaya tetap lancar. Sempat terdengar
gurauan miris kondektur Damri “…buruh minta gaji 3 juta, lha saya 25 tahun di
PPD gaji masih 750 ribu..” Yeah!
Setelah dipalak 75ribu oleh tukang rawon terminal,
kami naik bus jurusan Malang yang melewati persimpangan Japanan, sekitar satu
kilometer dari rumah Andhoenk, vokalis Sacrifice.
Setibanya ternyata Andhoenk yang sehari-hari
bekerja sebagai buruh ada di rumah. Mungkin daripada berdemo dia lebih memilih berdiskusi
masalah metal. Pertemuan kali ini adalah perkenalan langsung dengan Yuka. Maka
diskusi intens terjadi antara Yuka dan Andhoenk. Saya sendiri ingin menagih
janji Andhoenk untuk mengantarkan ke sebuah situs beberapa kilometer dari
rumahnya.
Perbincangan tentang Javanese Black Metal
berlangsung santai disela kopi hitam. Sekitar jam lima sore, Niken istri
Andhoenk tiba dan ikut berbincang dengan kami. Niken adalah seorang pemerhati
budaya dan aktivis lingkungan, perbincangan budaya dan spiritual Jawa menjadi
tambah seru. Hadir pula Adi, vokalis Wisik band Javanese War Metal yang selama
ini menjadi partner diskusi Andhoenk di Javanese Black Metal.
Mengingat hari makin gelap saya mengajak
Andhoenk untuk mengantarkan saya ke situs Raos Pacinan. Andhoenk dan
rekan-rekan sesama Javanese Black Metal memang sering berkunjung ke situs-situs
yang banyak tersebar di Jawa Timur untuk kebutuhan menggali sejarah ataupun
spiritual. Dengan berboncengan jadilah kita melaju ke Raos-Pacinan tak lupa
Andhoenk mengajak putrinya yang merengek minta ikut.
Sekitar 30 menit akhirnya kita tiba di situs
Raos Pacinan, maghrib telah lewat dan kegelapan muncul begitu cepat. Kamera
saya yang disiapkan dengan baterai penuh dan 2 card cadangan menjadi sia-sia.
Tidak ada gambar yang terekam. Cara satu-satunya adalah dengan night vision,
tapi tunggu dulu…dokumenter ini bukan tentang dunia lain atau program uji
nyali. Dengan mata alami tetap terlihat bentuk 2 dwarpala setinggi 2 meter
berjaga gagah. Dengan adanya arca dwarpala bisa dipastikan situs ini adalah
sebuah gerbang. Sayang kondisi arca telah sangat rusak, detil wajah telah
terkikis habis.
Arca dwarpala Raos Pacinan terletak dilebih
rendah dari permukaan tanah lahan perkebunan tebu. Bahkan nyaris tidak tampak
dari jarak 100 meter, semua tertutup tingginya tanaman tebu. Yang menjadi
penanda hanya sebuah pohon besar di pinggir situs. Situs ini terletak tidak
jauh dari kali Brantas yang kini menghitam dan penuh sampah. Dua Dwarpala itu
adalah penjaga gerbang menuju kerajaan Jenggala yang juga menghitam terkubur lumpur.
Sidoarjo dengan petaka lumpurnya kini telah
menghasilkan sebuah scene black metal yang besar di Jawa Timur. Para ksatria
Jenggala seakan ber-reinkarnasi ke musisi Javanese Black Metal untuk
menyuarakan kekecewaan, kemarahan dan menjadi pembela budaya.
Tujuan berikutnya: Kediri
No comments:
Post a Comment