Malam 21 Oktober 2010 status gunung Merapi menjadi AWAS. Saat itu saya sedang berada di Boyolali bersama dengan kontingen tur sebuah band rock gila dari Jakarta. Keesokan paginya dengan rasa ingin tahu saya keluar hotel dan melihat Merapi yang masih berwarna kebiruan. Masih jauh.
Tampak Merapi dengan kaki yang kokoh dan anggun berdiri tegak dengan reputasi adidaya. Asap putihnya mengingatkan saya akan asap dari Kapel Sistina di Vatikan tanda terpilihnya Paus yang baru. Seakan menjawab tantangan dari laut yang menyapu Mentawai, Merapi ahirnya menunjukkan reputasinya. Serius.
Mulai saat itu saya terus memantau berita dari Merapi yang pada puncaknya mengeluarkan awan panas maut. Menghantam desa di kaki gunung, menewaskan penduduk, wartawan bahkan seorang Mbah Maridjan. Merapi mampu mendatangkan berkloter-kloter relawan dan memaksa Kopassus keluar barak.
Salah satu yang menarik perhatian saya adalah kontroversi tentang Mbah Maridjan. Ada beberapa komentar yang menyatakan bahwa kematian si Mbah adalah hukuman karena musrik, keras kepala, lebih percaya tahayul. Bahkan Deddy Mizwar menyebutnya tolol karena menzolimi diri sendiri dan Permadi menghubungkannya dengan status selebritis si Mbah.
Memang tidak akan ada titik temu antara kepercayaan dari budaya luar dengan kepercayaan asli budaya nusantara. Saya tidak mempermasalahkan itu. Tidak bermutu untuk diperdebatkan. Tetapi “tragedi” si Mbah malah mengingatkan saya akan alm. Norman Edwin petualang legendaris yang mangkat di 6959m Aconcagua atau Kapten Titanic Edward Smith yang memilih mati bersama kapalnya. Atau dari referensi pop, sebuah adegan ending “The Legends of the Fall” dimana si tua Tristan menyerahkan hidupnya di cakar Grizzly, sebuah penghormatan kepada rohnya sendiri. Narasi dari suara One Stab: “It was a good death…”
Sebuah kisah cinta. Mbah Maridjan dan Merapi adalah sebuah ikatan cinta dan respek seorang manusia dengan bumi tempatnya hidup. Saya bisa memastikan keinginan si Mbah untuk turut menyatu dengan energi Merapi. Sebuah proses kematian yang indah. Kematian idaman. Kematian sempurna.
Meletusnya Merapi tidak sedahsyat Krakatau 1883 tetapi inilah yang saya saksikan di berbagai media. Sebagai seorang agnostik, Merapi akhirnya memberikan saya pencerahan arti “doa”. Doa adalah sebuah bentuk respek, tribut, salut. Atas aktivitasnya, saya sangat respek kepada Merapi. Yang Kuasa tengah menyelenggarakan penghancuran dengan cara elegan lewat Merapi. Energinya dan legenda mistisnya mampu menyatukan banyak hati di negara yang morat-marit ini.
Mungkin setelah semua reda saya akan mengunjungi Merapi mendakinya, menghormatinya. Menghormati bumi. Menghormati……Tuhan.
Oh ya, bahkan mungkin beberapa hari ini…atau besok.
No comments:
Post a Comment