Sunday, 14 November 2010

Who The Fuck Is SUPERGLAD - Perjalanan Riset

Adalah alm. Aheng Suhendar yang pertama kali memperkenalkan saya dengan personel Superglad (SG) sekitar tahun 2006. Agus Purnomo aka. Giox bassist ugal-ugalan yang secara rutin menggelar 'perjamuan' di studio The Doors miliknya, dialah personel pertama yang saya kenal. Sebelumnya saya telah mendengar sepak terjang SG sejak beberapa personelnya tergabung dalam band Waiting Room.

Jimmy Multazam (Upstair) pernah menyebut mereka sebagai 'rockstar terakhir' dimana gaya hidup dan attitude seorang rocker masih menempel erat. Dari reputasi ini saya dan Andibachtiar Yusuf berniat membuat rockumentary mengenai mereka. Kami memang terinspirasi dari rockumenter karya Rob Reiner : Spinal Tap. Ide ini disambut hangat oleh Giox, Luks, Akbar dan Dadi, yang juga berniat membuat dokumenter tentang mereka. OK, kita mulai...

Saya mulai meriset mereka, berawal dari direntalnya SG ke Boyolali dan Unggaran untuk promosi sebuah merk rokok baru. Ikut serta dalam kloter SG jangan bermimpi terbang dengan pesawat bersama asisten pribadi dan pengawal. Berkumpul di studio The Doors, kami naik taksi ke stasiun Gambir memboyong peralatan. Ya kami naik kereta. Satu hal yang menarik dari band brandalan ini adalah hubungan mereka dengan para kru masing-masing. Sebuah hubungan kekeluargaan dimana saya tidak melihat hubungan boss dan asisten. Mereka duduk bersama mengelilingi peti-peti peralatan sambil menunggu kereta. Buluks tampak mengumpulkan uang untuk membeli bekal di kereta yang ternyata adalah nasi Warteg berlauk telor dadar dan ikan cue.


Pengamatan saya tiba-tiba tergangu oleh kemunculan sosok gondrong kriwil berkacamata hitam. Dialah Jaya gitaris grup legendaris Roxx! Paman Jaya selain seorang guitar hero , juga menjadi sound engineer untuk beberapa band terkemuka. Saya teringat membeli kaset Finalis Festival Rock ke V dimana lagu "Rock Bergema" pertama kali saya dengar dan menjadi anthem rock-metal paling abadi di Indonesia. Serius. Dan saat itu saya bertemu langsung dengan seorang legenda. Fuih...

Peralanan konser Boyolali dan Unggaran cukup memberikan saya gambaran seperti apa rockumentary ini bertutur. Banyak peristiwa yang saya catat dari perjalanan bersama SG. Salah satu yang lucu adalah ketika driver mobil APV adalah penderita migren akut menyebabkan Buluks mengambil alih tugas nyetir, sementara semua penumpangnya adalah kru. Dalam kondisi lapar dan rokok menipis, Buluks berkata: "Gimana kalo fee lu semua dipotong 50.000,- buat gue makan. Daripada gue sakit, kan gak jadi manggung dan lo pada gak gajian. Milih mana hayo..." Berani taruhan, tidak ada vokalis lain yang punya ide 'memalak' ini. Masa...

Ada pula seorang hero (sebutan untuk fans SG) asal Banyuwangi yang bela-belain datang ke hotel untuk bertemu SG. Dari salah tingkah sampai matanya berkaca-kaca terharu karena tidak terima band idolanya ternyata 'sesederhana' itu. Penggemar SG mungkin tidak sebanyak band-band serupa D'Massiv atau Wali, tapi para hero adalah die-hard fans. Setidaknya kemanapun mereka pergi Giox tidak pernah kekurangan jamu, minuman kegemarannya.

Garis besar rockumentary ini setidaknya telah mulai kelihatan. Tentang sebuah band rock dengan pengalaman panggung yang panjang yang bermusik dengan hati dan berlirik dengan lugas, selugas makian mereka. Sebuah sindikat musisi, kru, management dan seorang legenda yang dipersatukan sebuah sistem yang bahkan lebih kuat dari demokrasi: ROCK N' ROLL.
Melihat mereka terlintas sebaris kata-kata dari Henry V saat perang Agincourt:
We few, we happy few, we band of brothers;
For he to-day that sheds his blood with me
Shall be my brother

Perjalanan rockumentary ini masih panjang. Masih banyak riset-riset bersama SG, dan masih banyak proposal dan teaser untuk bahan ngamen ke investor. Ada yang berminat mungkin.....?

"WALK TOGETHER - ROCK TOGETHER!" That's fuckin' Superglad...

Teaser Who The Fuck Is Superglad : http://www.youtube.com/watch?v=WHsTVJw9XLA&feature=

Sumur Batu, 15/11/10

Friday, 5 November 2010

Merapi 2010. Respek

The volcano became the visual centrepiece of a German book from 1845 called 'Topographische und naturwissenschaftliche Reisen durch Java' (Topographic and Scientific Journeys through Java). The lithographic plates were made by E. Baensch and, as far as I can tell, are not recording any specific (or at least significant) contemporary eruptions. http://bibliodyssey.blogspot.com/2008/09/merapi-volcano.html


Malam 21 Oktober 2010 status gunung Merapi menjadi AWAS. Saat itu saya sedang berada di Boyolali bersama dengan kontingen tur sebuah band rock gila dari Jakarta. Keesokan paginya dengan rasa ingin tahu saya keluar hotel dan melihat Merapi yang masih berwarna kebiruan. Masih jauh.

Tampak Merapi dengan kaki yang kokoh dan anggun berdiri tegak dengan reputasi adidaya. Asap putihnya mengingatkan saya akan asap dari Kapel Sistina di Vatikan tanda terpilihnya Paus yang baru. Seakan menjawab tantangan dari laut yang menyapu Mentawai, Merapi ahirnya menunjukkan reputasinya. Serius.

Mulai saat itu saya terus memantau berita dari Merapi yang pada puncaknya mengeluarkan awan panas maut. Menghantam desa di kaki gunung, menewaskan penduduk, wartawan bahkan seorang Mbah Maridjan. Merapi mampu mendatangkan berkloter-kloter relawan dan memaksa Kopassus keluar barak.

Salah satu yang menarik perhatian saya adalah kontroversi tentang Mbah Maridjan. Ada beberapa komentar yang menyatakan bahwa kematian si Mbah adalah hukuman karena musrik, keras kepala, lebih percaya tahayul. Bahkan Deddy Mizwar menyebutnya tolol karena menzolimi diri sendiri dan Permadi menghubungkannya dengan status selebritis si Mbah.

Memang tidak akan ada titik temu antara kepercayaan dari budaya luar dengan kepercayaan asli budaya nusantara. Saya tidak mempermasalahkan itu. Tidak bermutu untuk diperdebatkan. Tetapi “tragedi” si Mbah malah mengingatkan saya akan alm. Norman Edwin petualang legendaris yang mangkat di 6959m Aconcagua atau Kapten Titanic Edward Smith yang memilih mati bersama kapalnya. Atau dari referensi pop, sebuah adegan ending “The Legends of the Fall” dimana si tua Tristan menyerahkan hidupnya di cakar Grizzly, sebuah penghormatan kepada rohnya sendiri. Narasi dari suara One Stab: “It was a good death…”

Sebuah kisah cinta. Mbah Maridjan dan Merapi adalah sebuah ikatan cinta dan respek seorang manusia dengan bumi tempatnya hidup. Saya bisa memastikan keinginan si Mbah untuk turut menyatu dengan energi Merapi. Sebuah proses kematian yang indah. Kematian idaman. Kematian sempurna.

Meletusnya Merapi tidak sedahsyat Krakatau 1883 tetapi inilah yang saya saksikan di berbagai media. Sebagai seorang agnostik, Merapi akhirnya memberikan saya pencerahan arti “doa”. Doa adalah sebuah bentuk respek, tribut, salut. Atas aktivitasnya, saya sangat respek kepada Merapi. Yang Kuasa tengah menyelenggarakan penghancuran dengan cara elegan lewat Merapi. Energinya dan legenda mistisnya mampu menyatukan banyak hati di negara yang morat-marit ini.

Mungkin setelah semua reda saya akan mengunjungi Merapi mendakinya, menghormatinya. Menghormati bumi. Menghormati……Tuhan.

Oh ya, bahkan mungkin beberapa hari ini…atau besok.

Perantauan, Tanah Jawa. 6 November 2010

Monday, 18 October 2010

"Blues is the root everything else just the fruit" – Willie Dixon


Setelah memalak seorang teman, akhirnya saya mendapatkan pass untuk masuk arena bluesfest Jakarta 2010. Setelah “menyetem kuping pentatonik” saya siap untukn di empat panggung yang ada. Berikut penampilan yang sempat saya catat…..


Adrian Adioetomo dan kontrak dengan iblis.

Demi popularitas dan keterampilan memetik blues, konon Robert Johnson menggadaikan jiwanya kepada iblis. Sebuah pertanyaan usil tersirat apakah Adrian Adioetomo melakukannyajuga? Dengan iblis juga kah atau malah Johnson sendiri? Hanya berbekal ‘dingklik’ dan gitar logam yang sudah uzur petikan delta blues Adrian tiba-tiba membuat suasana Green Stage menjadi penuh mistis. Blues seperti Telegram dan Blues Iblis menjadi lagu yang ditunggu penonton.

Ada yang aneh sebelum pertunjukan dimulai, yaitu satu set perangkat DJ yang ada di atas panggung. Adrian ternyata memadukan delta blues dengan efek bunyi dari piringan hitam. Scratching piringan hitam oleh DJ pun menjadi sangat blues, suatu kejutan untuk penonton yang memperkirakan fusi blues dengan house music.

Seperti setahun yang lalu, Adrian mengajak bluesman pemain harmonica dari Bandung, yang kali ini telah berani tampil sendiri tanpa didampingi gurunya.

Penampilan Adrian di malam pertama blues fest ini menjadi salah satu yang ditunggu. Selain mempunyai fans yang setia dan komunikasi ‘nakal’ dengan penonton, Adrian Adioetomo merupakan satu-satunya bluesman yang membawakan delta blues, blues kuno yang penuh mistis. Semoga tahun depan Adrian bisa naik kelas, yaitu ditempatkan panggung yang lebih’layak’ untuknya.













Rama Satria & The Electric Mojos with Lance Lopez

Blues tanpa ampun! Sejak blues pertama penonton tidak diberi kesempatan pemanasan, mereka langsung dibakar oleh duel Rama dan Lance. Lick bluesrock ala SRV dan Hendrix tidak memberikan kesempatan telinga untuk rileks.

Rama dan orkes bluesnya dengan bantuan Lance bernostalgia dengan Red House, sebuah tribut untuk Hendrix dengan durasi extra. Di blues ini Rama dan Lance mulai saling berduel emprovisasi. Lebarnya tone Gibson milik Lance disambut tajamnya lengkingan Fender milik Rama.

Tanpa ada jedah, Rama langsung menyambung improvisasi Red House dengan blues legendaris Voodoo Chille. Ini berarti medley Hendrix. Di saat memasuki improv, duel Rama-Lance makin menjadi solo-solo panjang mereka tampilkan dan kali ini suara keyboard pun tidak mau kalah. Kolaborasi Rama-Lance-keyboard menjadi semacam trisula yang menusuk telinga. Tunggu dulu...ini bukan lagi panggung musik, ini adalah sebuah opera blues! Ya, Rama cs berhasil membuat pertunjukan ini bak opera laga.

Sekitar 15 menit Rama Satria & The Electric Mojos dan Lance Lopez melakukan jamming sambungan dari Voodoo Chille yang ditutup dengan begitu klimaksnya. Beberapa ‘blues for dummies’ malah masih membawa sisa-sisa dengung Voodoo Chille bahkan sampai ke panggung Abdee dan Candil.


Kara Grainger....hmmmm

Kembali ke Green Stage, seakan menjadi penutup yang sempurna untuk hari pertama Djarum Super Jakarta Blues Festival 2010. Kara Grainger yang elok mulai membawakan blues yang manis. Penampilan blueswoman asal Australia ini bisa dibilang membawa suasana rileks bagi penonton sebelum pulang.

Hanya empat lagu yang dinyanyikan Kara dan bandnya. Santai dan sederhana, itulah kesan dari penampilan Kara tapi mereka mampu mengajak penonton

untuk bertepuk tangan dan bergoyang dengan irama blues-reggae. Apalagi senyum dan wajah menawan Kara sama menawan dengan permainan slide nya.

Dengan empat lagu tadi seolah menjadi pemanasan bagi Kara, mengingat besok malam dia akan tampil di panggung utama Blue Stage, sama seperti tahun lalu. Satuyang patut disyukuri adalah dengan talenta dan wajah yang rupawan, untunglah Kara memilih blues.

Jakarta Bluesfest memang berbeda dari konser sebelumnya: Rockin’Land atau Exodus. Mengapa saya bela-belain menyehatkan paru-paru atau memalak teman demi konser ini? Padahal tidak satupun dari mereka adalah idola saya. Yang jelas saya pulang dengan perasaan yang aneh, mistis… seakan baru saja diberikan mojo yang ampuh. Ya, itulah blues…I got my mojo working…

Perantauan, Pulau Jawa - 15/10/10