Sebenarnya nama ini tidak terlalu asing, semasa kecil saya telah membacanya di sampul vinyl Opa yang doyan keroncong.
Berawal dari perjalanan survey ke kota Solo untuk sebuah proyek film dokumenter tentang metal di Solo, saya mencuri kesempatan untuk datang ke studio Lokananta. Kenapa Lokananta? Sebelumnya saya pernah terlibat percakapan ringan dengan David Karto sang komandan Demajor Records yang juga kolektor vinyl dan seorang yang peduli dengan nasib label pelopor recording ini. David memberikan saya informasi tentang Lokananta yang membuat saya tergerak untuk mencari tau lebih dalam.
Diantar kamerad Firman Prasetyo cs, rombongan berangkat ‘ziarah’ ke studio Lokananta. Bangunan depan gedung berdesin artdeco penghabisan ini memang lebih mirip museum dibanding rumah rekaman. Kami juga dipandu ‘kuncen’ Lokananta mas Bembi yang ramah. Sepanjang penyusuran ruang demi ruang mas Bembi selalu menjelaskan sejarah tentang Lokananta.
Perangkat recording zaman 50an tertata rapih di atas meja, microphone vintage tersusun di lemari kaca, dan tidak ketinggalan gudang vinyl yang menurut saya jumlahnya terlalu sedikit untuk sebuah perusahan rekaman yang berdiri sejak awal 1950an.
Ketika saya bertanya tentang pita-pita rekaman Bung Karno, mas Bembi menjelaskan bahwa pernah ditemukan pita rekaman tersebut tapi dengan isi yang lain. Ternyata pita tersebut telah ditimpa rekaman lain mengingat harga pita rekaman yang begitu mahal.
Puncak ziarah ini adalah ketika kami tiba di ruang rekaman yang luar biasa luas. Seperangkat gamelan kuno tersimpan di dalamnya. Memang ruang rekaman ini biasa digunakan untuk merekam gending atau musik tradisional sehingga didesain untuk perangkat gamelan dan sebagainya. Akustiknya pun istimewa ada panel-panel kayu berlubang dengan langit-langit yang tinggi.
Bangunan utama studio Lokananta lebih kelihatan seperti sekolah. Ada taman ditengah dikelilingi pintu-pintu. Studio ini juga mempunyai areal tanah yang sangat luas. Saya dan Firman yang juga seorang panitia Rock In Solo menemukan sebuah area terbuka yang cukup luas, berumput liar tak terawat. Hmm… cocok untuk gigs metal skala sedang.
Kunjungan kami bisa dibilang singkat, tapi saya akan datang lagi saat Rock In Solo. Mungkin panitia bisa merayu sang pak Walikota Jokowi yang juga seorang metalhead, atau mungkin bisa menyeret personil Death Angel untuk bermain di studio raksasa atau setidaknya menyaksikan sepenggal besar sejarah musik Indonesia.
Tujuan saya berikutnya adalah riset dan kemudian sebuah film dokumenter musik lagi? Kita lihat saja, yang pasti harapan kami semoga tahun-tahun kedepan tidak menjadi Mall Lokananta. Amin.
Solo, 9 Agustus 2011